Tafsir Al Qur'an Surat Al Baqarah Ayat Yang Ke: 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, Dan 162.
Ini adalah lanjutan dari postingan sebelumnya: Tafsir Al Baqarah Ayat 146-153.
Ayat 154-157: Pengarahan kepada kaum mukmin, dan ujian dari Allah kepada mereka dengan berbagai bentuk ujian agar Dia membalas mereka dengan balasan yang paling baik
وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ (١٥٤) وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (١٥٧
155.[3] Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit[4] ketakutan[5], kelaparan, kekurangan harta[6], jiwa[7] dan buah-buahan[8]. Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.[9]
156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah[10], mereka berkata, “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Sesungguhnya Kami adalah milik Allah[11] dan kepada-Nya-lah Kami kembali[12]).
157. Mereka itulah yang memperoleh ampunan[13] dan rahmat dari Tuhannya[14], dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk[15].
Ayat 158: Bersa’i antara Shafa dan Marwah, dan penjelasan pentingnya haji dan umrah
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ (١٥٨
Ayat 159-162: Wajibnya menyebarkan ilmu dan tidak menyembunyikannya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani sehingga mereka mendapatkan laknat dan kemurkaan
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ (١٥٩)إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (١٦٠) إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (١٦١)خَالِدِينَ فِيهَا لا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلا هُمْ يُنْظَرُونَ (١٦٢
160. Kecuali mereka yang telah bertobat[24], mengadakan perbaikan[25] dan menerangkan (kebenaran yang disembunyikannya), mereka itulah yang Aku terima tobatnya dan Akulah yang Maha Penerima tobat[26] lagi Maha Penyayang[27].
161. Sesungguhnya orang-orang kafir[28] dan mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya[29],
162. Mereka kekal di dalamnya[30]; tidak akan diringankan siksanya[31] dan mereka tidak (pula) diberi penangguhan[32].
[1] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan kita agar menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong untuk menghadapi semua masalah, Dia menyebutkan contoh permasalahan yang patut dihadapi dengan sabar, yaitu jihad fii sabilillah. Jihad merupakan keta’atan badan yang paling utama dan paling berat bagi jiwa karena membawa kepada kematian, padahal orang-orang mencintai dunia karena ingin hidup di sana, bahkan tindakan sehari-hari yang mereka lakukan juga bertujuan agar dapat hidup di sana. Sudah menjadi maklum, bahwa hal yang dicintai tidaklah ditinggalkan oleh orang-orang yang berakal selain untuk memperoleh hal yang lebih dicintai lagi, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan bahwa orang yang berperang di jalan Allah agar kalimat Allah menjadi tinggi dan agar agama-Nya menjadi tegak, pada hakikatnya ia tidak kehilangan kehidupan yang dicintainya itu, bahkan ia memperoleh kehidupan yang lebih besar dan lebih sempurna dari apa yang kita perkirakan. Para syuhada sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran: 169-171, adalah orang-orang yang hidup di sisi Allah, memperoleh rezki serta bergembira karena karunia yang diberikan-Nya dan tidak lagi khawatir dan bersedih. Kehidupan apa yang lebih baik daripada kehidupan seperti ini; dekat dengan sisi Allah, memperoleh rezki bagi badan berupa makanan dan minuman yang enak, memperoleh rezki bagi ruh berupa kegembiraan, hilangnya rasa takut dan kesedihan. Mereka hidup di alam Barzakh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan dalam haditsnya bahwa ruh para syuhada berada di perut-perut burung hijau, di mana burung-burung itu mendatangi sungai-sungai surga dan memakan buah-buahannya, kemudian pulang ke lampu-lampu yang menempel di ‘Arsy. Dalam ayat ini terdapat anjuran untuk berjihad fii sabilillah dan bersabar di atasnya. Jika sekiranya orang-orang mengetahui balasan yang diperoleh para syuhada, tentu tidak akan ada seorang pun yang meninggalkannya. Akan tetapi, karena tidak adanya ilmu yang yakin akhirnya ia tidak mau berjihad. Bahkan jika sekiranya manusia memiliki seribu nyawa, lalu masing-masing nyawa itu melayang satu-persatu tentu tidak akan dapat mengalahkan pahala yang besar ini. Oleh karena itu, tidak ada yang diinginkan para syuhada’ setelah mereka melihat langsung pahala Allah dan balasannya selain ingin kembali ke dunia agar mereka terbunuh lagi beberapa kali.
[2] Hidup di alam barzakh memperoleh kenikmatan yang luar biasa. Ayat ini menunjukkan adanya nikmat kubur.
[3] Allah Subhaanahu wa Ta’aala menerangkan bahwa Dia pasti akan menguji hamba-hamba-Nya agar terlihat jelas siapa yang jujur hatinya dan siapa yang dusta, siapa yang sabar dan siapa yang keluh kesah. Ini merupakan sunnatullah yang berlaku pada hamba-hamba-Nya. Hal itu, karena jika kesenangan senantiasa didapatkan oleh mereka yang beriman dan tidak diuji tentu akan terjadi percampuran antara yang benar-benar beriman dengan yang tidak. Hikmah Allah menghendaki untuk memisahkan siapa orang yang baik dan siapa orang yang buruk. Inilah tujuan dari ujian. Bukan untuk menyingkirkan keimanan yang ada pada diri orang mukmin dan bukan untuk mengeluarkan mereka dari agama, karena Allah tidak akan menyia-nyiakan iman mereka.
[4] Kata-kata “sedikit” menunjukkan tidak banyak. Karena jika banyak atau seluruh hidupnya adalah ketakutan atau senantiasa lapar, tentu manusia akan binasa. Hal ini, karena ujian bertujuan untuk menyaring, bukan untuk membinasakan.
[5] Seperti ada ancaman dari musuh.
[6] Seperti sulitnya mencari rezki atau hilangnya rezki itu baik karena ada musibah dari langit, hilang, dirampas oleh orang-orang zhalim dsb.
[7] Seperti dicabutnya nyawa orang yang dicintainya baik itu anaknya, kerabatnya, kawannya maupun dengan tertimpa penyakit pada badannya atau badan orang yang dicintainya atau pun syahid fii sabilillah.
[8] Misalnya hasil panennya gagal karena musibah dari langit seperti turunnya hujan yang besar sehingga menggenangkan hasil panennya, atau terbakar atau dimakan belalang dsb.
[9] Ujian-ujian seperti yang disebutkan di atas pasti terjadi karena diberitakan oleh Allah yang Maha Mengetahui. Ketika terjadi, ada dua kelompk manusia dalam hal cara menghadapinya: ada yang keluh kesah dan ada yang bersabar. Orang yang berkeluh kesah akan mendapatkan dua musibah, yaitu: hilangnya apa yang dicintai dan tidak memperoleh pahala yang besar, bahkan ia memperoleh kerugian, imannya melemah, kesabaran, ridha dan rasa syukurnya hilang dan musibah tersebut terasa semakin berat. Adapun orang yang diberi taufiq oleh Allah untuk bersabar ketika mendapatkan musibah ini, ia tidak keluh kesah baik dalam ucapannya maupun dalam tindakannya serta mengharapkan pahala dari Alllah, ia juga mengetahui bahwa pahala yang diperolehnya lebih besar daripada musibah yang menimpanya, maka ia hanya merasakan satu musibah, dan musibah tersebut akan menjadi ringan, bahkan nikmat baginya, karena musibah itu merupakan cara untuk memperoleh hal yang lebih baik dan bermanfa’at. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyampaikan berita gembira kepada mereka yang sabar, yakni mereka akan memperoleh pahala tanpa tanggung-tanggung serta surga-Nya, dan kemudian Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan ciri mereka seperti yang disebutkan pada ayat selanjutnya.
[10] Musibah adalah semua yang membuat hati, badan atau kedua-duanya terasa sakit atau pedih.
[11] Maksudnya: kita milik Allah, di bawah pengaturan dan tindakan-Nya, Dia berbuat kepada milik-Nya apa yang Dia kehendaki, kita tidak memiliki apa-apa terhadap jiwa dan harta sedikit pun. Oleh karena itu, jika Dia menimpakan ujian kepada kita, maka sesungguhnya itu merupakan tindakan dari Yang Maha Penyayang kepada milik-Nya, maka tidak boleh diprotes. Bahkan termasuk sempurnanya pengabdian seorang hamba adalah dia merasakan bahwa musibah yang menimpanya berasal dari Pemilik dirinya, Tuhan yang Maha Bijaksana yang lebih sayang kepada dirinya daripada sayangnya seorang hamba kepada dirinya sendiri. Oleh karena itu, sikap yang harus dilakukan adalah ridha, bersyukur karena diatur oleh-Nya kepada hal yang lebih baik bagi dirinya meskipun ia tidak menyadari.
[12] Di samping kita sebagai milik-Nya, kita juga akan kembali kepada-Nya pada hari kiamat, lalu masing-masing akan diberi balasan sesuai amalnya. Jika kita bersabar dan mengharap pahala dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala, maka kita akan mendapatkan pahala secara penuh di sisi-Nya, sedangkan jika kita berkeluh kesah, maka tidak ada yang kita peroleh selain keluh kesah, musibah dan hilangnya pahala. Memahaminya seorang hamba bahwa dirinya adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya merupakan sebab terkuat untuk memperoleh kesabaran.
[13] Ada yang mengartikan “pujian”.
[14] Di antara rahmat-Nya kepada mereka adalah dengan memberikan taufiq untuk bersabar, di mana dengannya mereka memperoleh pahala yang sempurna.
[15] Yakni orang-orang yang mengetahui yang hak, dan dalam hal ini adalah pengetahuan mereka bahwa mereka milik Allah dan akan kembali kepada-Nya dan mereka mengamalkannya, yaitu dengan bersabar karena Allah. Allah Subhaanahu wa Ta’aala juga akan memberi petunjuk kepada hatinya untuk bersabar sebagaimana dalam firman-Nya “wa may yu’min billah yahdi qalbah” (lihat surat At Taghaabun: 11).
Beberapa ayat di atas (dari ayat 155-157) menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak bersabar, maka ia akan memperoleh kebalikannya. Ia akan memperoleh celaan dari Allah, hukuman, kesesatan dan kerugian. Sungguh sangat berbeda dua golongan tersebut, sungguh ringan beban orang yang bersabar dan sungguh berat beban orang yang berkeluh kesah. Ayat di atas juga mempersiapkan jiwa seseorang agar siap menghadapi musibah dengan bersabar meskipun belum terjadi, menerangkan beberapa sebab yang membantu kesabaran, pahala yang diperoleh bagi mereka yang bersabar, menerangkan keadaan orang yang bersabar, menerangkan beberapa macam musibah dan bahwa ujian dan cobaan merupakan sunnatullah pada hamba-hamba-Nya, di mana kita tidak akan mendapati adanya perubahan dalam sunnatullah.
[16] Imam Bukhari meriwayatkan dari Urwah, bahwa ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Beritahukanlah kepadaku firman Allah Ta’ala, “Innash shafa wal marwata…dst. sampai ay yaththawwafa bihimaa.” Demi Allah, (yang demikian menunjukkan) tidak ada dosa bagi seseorang untuk tidak bersa’i antara Shafa dan Marwah.” Aisyah menjawab, “Buruk sekali apa yang kamu katakan, wahai putera saudariku! Sesungguhnya ayat ini jika seperti apa yang kamu tafsirkan, maka berarti tidak ada dosa bagi seseorang untuk tidak bersa’i antara Shafa dan Marwah. Akan tetapi, ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Anshar, di mana mereka sebelum masuk Islam berihlal (bertalbiyah) untuk berhala Manat yang mereka sembah di Musyallal. Di antara orang yang berihlal itu merasa berdosa bersa’i antara Shafa dan Marwah. Ketika mereka telah masuk Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa berdosa bersa’i antara Shafa dan Marwah,” maka Allah menurunkan ayat, “Innash shafaa wal marwata min sya’aairillah..dst.” Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bersa’i antara Shafa dan Marwah, oleh karena itu tidak boleh bagi seorang pun meninggalkan bersa’i antara Shafa dan Marwah.” Kemudian Aisyah memberitahukan kepada Abu Bakar bin Abdurrahman, lalu Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya ilmu ini belum pernah aku dengar. Bahkan aku mendengar beberapa orang ahli ilmu menyebutkan, bahwa orang-orang –selain yang disebutkan Aisyah yang berihlal dengan Manat- mereka bersa’i di Shafa dan Marwah. Karena Allah Ta’ala hanya menyebutkan thawaf di Baitullah, dan tidak menyebutkan bersa’i antara Shafa dan Marwah dalam Al Qur’an, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami bersa’i antara Shafa dan Marwah, padahal yang Allah turunkan (dalam kitab-Nya) adalah berthawaf di Baitullah dan tidak menyebutkan Shafa dan Marwah. Oleh karena itu, apakah kami berdosa jika kami bersa’i di Shafa dan Marwah?” Maka Allah menurunkan ayat, “Innash shafaa wal marwata min sya’aairillah..dst.” Abu Bakar berkata, “Dengarkanlah ayat ini, ia turun berkenaan kedua pihak itu; tentang orang-orang yang merasa berdosa bersa’i antara Shafa dan Marwah di zaman Jahiliyyah dan orang-orang yang berthawaf (di Baitullah) kemudian mereka merasa berdosa bersa’i antara Shafa dan Marwah karena Allah Ta’ala hanya memerintahkan thawaf di Baitullah dan tidak menyebutkan bersa’i di Shafa sehingga bersa’i disebutkan setelah diterangkan thawaf di Baitullah.”
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa ia pernah ditanya tentang (bersa’i) antara Shafa dan Marwah, lalu ia menjawab, “Kami memandang, bahwa (bersa’i) antara Shafa dan Marwah termasuk perkara Jahiliyyah. Ketika Islam datang, kami pun menahan diri (tidak melakukannya), maka Allah menurunkan ayat, “Innash shafaa wal marwata min sya’aairillah..dst.”
Namun demikian, tidak ada yang bahwa ayat tersebut turun berkenaan kedua pihak itu.
[17] Syi’ar Allah adalah tanda-tanda agama yang nampak atau tempat beribadah kepada Allah. Karena sebagai syi’ar-Nya, maka kita diperintahkan untuk memuliakannya, wa may yu’azzhim sya’aairallah fa innahaa min taqwal quluub (dan barangsiapa yang memuliakan syi’ar-syi’ar Allah, maka hal itu timbul dari ketakwaan yang ada di dalam hati).
[18] Allah mengungkapkan dengan perkataan “tidak ada dosa” (padahal hukumnya wajib) sebab sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa keberatan mengerjakannya sa’i di situ, karena tempat itu bekas tempat berhala. dan di masa jahiliyah pun tempat itu digunakan sebagai tempat sa’i. Untuk menghilangkan rasa keberatan itu, Allah menurunkan ayat ini.
[19] Yakni yang disyari’atkan Allah, seperti shalat, puasa, hajji, umrah, thawaf dsb. Hal ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengerjakan perkara yang tidak disyari’atkan (bid’ah), maka tidak ada yang diperoleh selain kelelahan, bukan kebaikan, bahkan bisa menjadi keburukan jika ia melakukannya dengan sengaja dan mengetahui bahwa hal itu tidak disyari’atkan.
[20] Yakni ikhlas karena Allah. Ada pula yang mengartikan “mengerjakan amalan yang tidak wajib baginya”.
[21] Allah mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, jika sedikit dibalas-Nya dengan balasan yang banyak, Dia tidak menyia-nyiakan amalan hamba-hamba-Nya, dan tidak mengurangi meskipun seberat dzarrat (debu). Jika seorang hamba mengerjakan perintah-Nya Dia akan membantu, memujinya dan akan memberikan balasan berupa cahaya, iman dan kelapangan di hatinya, pada badannya akan diberikan kekuatan dan semangat dan pada semua keadaannya akan diberikan keberkahan dan tambahan, sedangkan pada amalnya akan ditambah lagi dengan taufiq-Nya. Pada hari kiamat, pahala yang diperoleh seorang hamba tersebut akan dipenuhkan dan tidak akan dikurangi. Di antara syukur-Nya kepada hamba-Nya adalah bahwa barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sejengkal, maka Allah akan mendekat kepadanya sehasta, barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sehasta, maka Dia akan mendekat kepada orang itu sedepa dan barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sambil berjalan, maka Dia akan mendekat kepadanya sambil berlari.
[22] Allah Subhaanahu wa Ta’aala juga mengetahui siapa yang berhak memperoleh pahala yang sempurna sesuai niat, iman dan ketakwaannya, Dia mengetahui amalan-amalan yang dikerjakan hamba-hamba-Nya, oleh karenanya Dia tidak akan menyia-nyiakannya, bahkan hamba-hamba-Nya akan memperoleh balasan yang lebih banyak dari apa yang merekjakerjakan sesuai niat mereka yang diketahui oleh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[23] Ayat ini meskipun menerangkan tentang keadaan ahli kitab berupa sikap mereka menyembunyikan isi Taurat atau Injil yang menerangkan tentang keadaan rasul terakhir (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan sifatnya, namun ayat ini umum mengena kepada siapa saja yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk. Karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah mengambil perjanjian kepada ahli ilmu agar mereka menerangkan kepada manusia nikmat yang Allah berikan berupa pengetahuan agama. Barangsiapa yang malah menyembunyikannya, maka ia telah mengerjakan dua mafsadat, yaitu menyembunyikan apa yang Allah turunkan dan menipu hamba-hamba Allah. Mereka akan dilaknat Allah, yakni dijauhkan dari rahmat dan dekat dengan-Nya serta akan dilaknat oleh mereka yang melaknat, yaitu semua makhluk karena telah melakukan penipuan dan merusak agama mereka. Mafhum ayat ini, bahwa orang yang mengajarkan kebaikan dan menerangkan kepada manusia apa yang Allah turunkan, maka Allah akan memberikan shalawat (rahmat dan ampunan) dan malaikat akan mendo’akannya, bahkan tidak hanya malaikat, ikan-ikan yang ada di laut pun mendo’akannya karena tindakannya untuk mengadakan perbaikan kepada makhluk dan memperbaiki agama mereka serta mendekatkan mereka dengan rahmat Allah Azza wa Jalla.
[24] Yakni yang rujuk dari perbuatan mereka selama ini disertai penyesalan, berhenti dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi serta beristighfar kepada Allah dari kesalahan-kesalahan itu.
[25] Mengadakan perbaikan berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat buruk dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan.
[26] Dengan memaafkan dosa apabila mereka bertobat dan berbuat ihsan setelah dihalangi.
[27] Yang memiliki sifat rahmah (sayang) yang agung, saking luasnya rahmat itu sampai mengena kepada segala sesuatu. Di antara rahmat-Nya adalah memberi taufiq kepada mereka untuk bertobat dan kembali kepada-Nya, lalu Dia merahmati mereka dengan menerima tobatnya.
[28] Di samping kafir, mereka juga menyembunyikan kebenaran.
[29] “Manusia” di sini ada yang berpendapat umum, yakni semua manusia dan ada yang berpendapat bahwa yang melaknat adalah kaum mukmin.
[30] Yakni di dalam laknat dan azab.
[31] Meskipun hanya sebentar atau hanya sekejap mata.
[32] Karena waktu penangguhan yaitu di dunia sudah mereka lewati tanpa bertobat, dan apabila sudah tiba ajal seseorang, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidak akan memberi tangguh lagi (lihat surat Al Munafiqun: 11).
Tags: Tafsir Lengkap, Al Quran Digital, Arti Ayat Al Quran, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Ayat Ayat Al Quran, Download Tafsir Al Quran, Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki, Tafsir Al Quran Online, Tafsir Quran Indonesia, Terjemahan Al Quran
0 komentar
Posting Komentar