6/30/2015

TAFSIR SURAT AL BAQARAH AYAT 168-173

SPACE

Tafsir Al Qur'an Surat Baqarah Ayat Yang Ke: 168, 169, 170, 171, 172, Dan 173.
Lihat juga tafsir sebelumnya: Al Baqarah Ayat 163-167.

Ayat 168-169: Nikmat Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepada semua manusia dan ajakan-Nya kepada mereka untuk tidak mengikuti langkah-langkah setan

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (١٦٨) إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ (١٦٩

Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 168-169

168. Wahai manusia! Makanlah yang halal[1] lagi baik[2] yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan[3], sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu[4].

169. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat[5] dan keji[6], dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah[7].

Ayat 170-171: Keadaan kaum musyrik karena tidak mau beriman dan masuk Islam

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ (١٧٠)وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لا يَسْمَعُ إِلا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَعْقِلُونَ (١٧١

Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 170-171

170. Dan apabila dikatakan kepada mereka[8], “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah[9],” mereka menjawab, “(Tidak), Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?”[10].

171. Dan perumpamaan bagi (penyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang meneriaki binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan teriakan saja[11]. (Mereka) tuli[12], bisu[13] dan buta[14], maka mereka tidak mengerti[15].

Ayat 172-173: Halalnya yang baik-baik dan haramnya yang buruk-buruk, dan makanan yang halal dan yang haram

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (١٧٢) إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٧٣

Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 172-173

172.[16] Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah di antara rezki yang baik yang Kami berikan kepadamu[17] dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya[18].

173.[19] Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai[20], darah[21], daging babi[22], dan binatang yang disembelih dengan (menyebut) nama selain Allah[23]. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya)[24], sedangkan dia tidak menginginkannya[25] dan tidak (pula) melampaui batas[26], maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[27].


[1] Halal di sini mencakup halal memperolehnya, seperti tidak dengan cara merampas dan mencuri, demikian juga tidak dengan mu’amalah yang haram atau cara yang haram dan tidak membantu perkara yang haram.

[2] Yaitu yang suci tidak bernajis, bermanfa’at dan tidak membahayakan. Ada yang mengartikan thayyib di ayat ini dengan “tidak kotor” seperti halnya bangkai, darah, daging babi dan segala yang kotor lainnya.

Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa yang haram itu ada dua: yang haram zatnya dan yang haram karena ada sebab luar, seperti karena terkait dengan hak Allah atau hak hamba-Nya. Demikian juga bahwa hukum makan agar dapat melangsungkan kehidupan adalah wajib.

[3] Seperti menghalalkan dan mengharamkan dari diri sendiri, segala nadzar maksiat, melakukan bid’ah dan kemaksiatan. Termasuk juga mengkonsumsi barang-barang haram. Qatadah dan As Suddiy berpendapat bahwa semua kemaksiatan kepada Allah termasuk mengikuti langkah-langkah setan.

[4] Maksudnya: setan adalah musuh yang jelas bagi kita. Oleh karenanya, tidak ada yang diinginkannya selain menipu kita dan mencelakakan kita. Di ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidak cukup menyebutkan “jangan mengikuti langkah-langkah setan” tetapi menerangkan bahwa dia adalah musuh yang nyata bagi kita, dan tidak sampai di situ, Dia menerangkan lebih rinci apa yang diserukan setan, yaitu menyuruh berbuat jahat dan keji seperti yang disebutkan pada ayat ssetelahnya.

[5] Mencakup semua maksiat.

[6] Yaitu maksiat yang dianggap jelek sekali oleh syara’, uruf (kebiasaan yang berlaku) maupun akal baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh: zina, meminum khamr, membunuh, menuduh zina, dsb.

Ada juga yang berpendapat bahwa “as suuu'” (jahat) adalah kemaksiatan yang tidak ada hadnya, sedangkan “al fahsyaa'” (keji) adalah kemaksiatan yang ada hadnya.

[7] Termasuk mengatakan tentang Allah tanpa ilmu adalah:

– Berkata tentang syari’at Allah tanpa ilmu (dasar dalil).

– Berkata tentang taqdir Allah tanpa ilmu, padahal taqdir-Nya masih tersembunyi.

– Menyifati Allah tanpa dalil.

– Mengatakan bahwa Allah punya tandingan.

– Mengatakan bahwa Allah menghalalkan barang ini, mengharamkan barang itu atau memerintahkan hal ini dan melarang hal itu, ia menyatakan semua itu tanpa dalil.

– Menafsirkan firman Allah dengan tafsir batil atau sesuai hawa nafsunya, lalu ia mengatakan “inilah maksud firman Allah ini”.

– Dsb.

[8] Yakni orang-orang kafir atau orang-orang yang sesat.

[9] Seperti mentauhidkan Allah Subhaanahu wa Ta’aala, menghalalkan yang baik-baik dan meninggalkan tradisi yang menyalahi ajaran agama.

[10] Ayat ini menunjukkan tercelanya sikap taqlid (ikut-ikutan) dan bahwa taqlid merupakan kebiasaan orang-orang kafir.

[11] Penyeru orang-orang kafir adalah orang-orang yang berdakwah kepada mereka, mengajak mereka beriman dan mengikuti petunjuk. Dalam ayat ini, penyeru tersebut diumpamakan seperti penggembala, sedangkan orang-orang kafir diumpamakan sebagai binatang ternak yang tidak memahami kata-kata si penggembala selain mendengar suara sebagai penegak hujjah, namun mereka tidak memahaminya.

[12] Mereka tidak mendengarkan yang hak dengan pendengaran yang membuahkan pemahaman dan sikap menerima.

[13] Bisu dari mengatakan yang hak (benar).

[14] Penglihatan mereka tidak mampu melihat bukti-bukti yang jelas.

[15] Mereka tidak mengerti nasehat yang disampaikan. Inilah sebab mereka bersikap seperti itu, yakni mereka tidak memiliki akal yang sehat, dan tidak mengerti hal-hal yang bermaslahat bagi mereka padahal penyeru itu mengajak kepada keselamatan dan agar jauh dari kesengsaraan, mengajak masuk ke dalam surga dan jauh dari neraka.

[16] Ayat ini perintah kepada kaum mukmin secara khusus setelah memerintahkan secara umum kepada manusia. Hal itu, karena hanya merekalah yang dapat mengerti nasehat yang disampaikan. Di ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan mereka memakan yang baik-baik dan bersyukur kepada Allah baik dengan hati, lisan maupun anggota badan, seperti menggunakan nikmat tersebut untuk keta’atan kepada-Nya atau dengan mengerjakan amal shalih. Perintah ini sama seperti perintah Allah kepada rasul-Nya, yaitu memakan makanan yang baik-baik dan beramal shalih (lihat surat Al Mukminun: 51).

[17] Perintah memakan yang baik-baik berarti larangan memakan yang kotor seperti halnya orang-orang kafir yang memakan sesuatu yang kotor dan mengharamkan makanan yang baik-baik.

[18] Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang bersyukur kepada Allah berarti telah beribadah kepada-Nya, demikian juga menunjukkan bahwa memakan makanan yang baik merupakan sebab untuk beramal shalih dan sebab diterimanya amal shalih tersebut. Di dalam ayat ini juga terdapat perintah bersyukur setelah memperoleh nikmat, karena syukur dapat menjaga nikmat yang ada dan menarik kembali nikmat yang hilang.

[19] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan halalnya makanan yang baik-baik selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan haramnya memakan makanan yang kotor dan membahayakan, di antaranya yang disebutkan pada ayat di atas.

[20] Yakni binatang yang mati tanpa disembelih secara syar’i. termasuk ke dalam bangkai adalah anggota badan yang dipotong dari binatang hidup ssebagaimana dalam As Sunnah, namun dikecualikan daripadanya bangkai ikan dan belalang.

[21] Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan di ayat yang lain.

[22] Disebutkan “daging” karena biasanya daging itulah yang dicari, meskipun bagian yang lain dari anggota badannya juga haram.

[23] Di samping haram memakan hewan yang disembelih dengan nama selain Allah, demikian pula diharamkan hewan yang disembeli dengan menyebut nama Allah dan menyebut pula nama selain-Nya. Termasuk diharamkan juga hewan yang disembelih untuk selain Allah, seperti untuk berhala, patung, dewa, kubur dsb.

Faedah:

Apa yang disebutkan di atas bukan berarti bahwa makanan yang diharamkan hanya sebatas empat makanan ini. Penyebutan empat makanan ini hanyalah untuk menerangkan beberapa contoh jenis makanan yang kotor atau khabaa’its, hal ini berdasarkan mafhum ayat sebelumnya, yaitu dari kata “thayyibaat”yang menunjukkan bahwa yang halal bagi kita hanyalah yang baik-baik saja. Adapun yang kotor dan membahayakan seperti bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih dengan nama selain Allah adalah haram, demikian juga makanan kotor dan membahayakan lainnya.

[24] Seperti karena lapar dan tidak ada makanan yang lainnya atau seseorang dipaksa. Dalam keadaan seperti ini, seseorang diperintahkan untuk makan, bahkan dilarang membiarkan dirinya binasa.

[25] Yakni tidak mencari yang haram padahal masih mampu mengambil yang halal atau ia tidak lapar.

[26] Yakni memakannya tidak melebihi kebutuhan menutup rasa lapar atau seukuran darurat saja tidak lebih. Makanan yang haram tadi halal ketika darurat dengan dua syarat ini “ghaira baagiw walaa ‘aad”, namun terkadang seseorang tidak dapat secara tepat melaksanakan “ghaira baagiw walaa ‘aad”, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan bahwa Dia Maha Pengampun, Dia mengampuni kekeliruan yang terjadi dalam kondisi ini, khususnya ketika terdesak oleh kondisi darurat dan kesadarannya tidak terkendali, wallahu a’lam.

Di antara mufassirin ada yang mengartikan “ghaira baaghiw walaa ‘aad”: “Bukan orang yang keluar dari barisan kaum muslimin mengadakan pemberontakan dan bukan orang yang melampaui batas seperti melakukan pembajakan“, sehingga mereka menafsirkan bahwa ketika darurat makanan yang haram tersebut tidak mengapa kecuali dua golongan tersebut (pemberontak dan pembajak), termasuk pula setiap orang yang bersafar karena maksiat seperti budak yang lari dari tuannya, maka tidak halal bagi mereka memakan makanan tadi ketika darurat. Inilah yang dipegang oleh Imam Syafi’i.

[27] Pembolehan memakan makanan yang haram ketika kondisi darurat merupakan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya dan kelapangan dari-Nya. Oleh karena itu, ayat ini diakhiri dengan dua nama-Nya Yang Mulia yang sangat sesuai sekali, yaitu bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.


Tags: Tafsir Lengkap, Al Quran Digital, Arti Ayat Al Quran, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Ayat Ayat Al Quran, Download Tafsir Al Quran, Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki, Tafsir Al Quran Online, Tafsir Quran Indonesia, Terjemahan Al Quran

1 komentar:

  1. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 29)

    [Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika) disembelih (disebut nama) untuk selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, QS Al Baqoroh ; 173].

    “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. Al-An’am: 119)

    berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Darda’ , bahwa Rasulullah  bersabda: “Apa saja yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitabNya itulah yang halal, dan apa saja yang diharamkan oleh-Nya itulah yang haram, adapun yang tidak dijelaskan, berarti termasuk yang dimaafkan bagimu. Dan terimalah pemaafan Allah itu, karena Allah tidak mungkin melupakan sesuatu, kemudian beliau membaca firman Allah:

    وَماَ كَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا

    “Dan tidaklah Tuhanmu lupa”. (QS. Maryam: 64.) (HR. Hakim II/406 no.3419 dan dia menshahihkannya).

    BalasHapus