6/28/2015

TAFSIR SURAT AL BAQARAH AYAT 8-16

SPACE

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 8,9,10,11,12,13,14,15, dan 16.

Ayat 8-16: Menerangkan sifat orang-orang munafik, keadaan mereka, hakikat kemunafikan dan balasan untuk orang-orang munafik


وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (٨)يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (٩) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (١٠) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (١١) أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ (١٢) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لا يَعْلَمُونَ (١٣)وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ (١٤) اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (١٥) أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (١٦)

8. Di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman[1].

9. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari[2].

10. Dalam hati mereka ada penyakit[3], lalu Allah menambah penyakitnya itu; mereka mendapat siksa yang pedih, karena mereka berdusta.

11. Dan apabila dikatakan kepada mereka[4],”Janganlah berbuat kerusakan di bumi[5].” Mereka menjawab[6], “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan[7].”

12. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan[8], tetapi mereka tidak menyadari.

13. Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang lain[9] telah beriman.” Mereka menjawab, “Apakah kami akan berimankah seperti orang-orang yang kurang akal itu beriman?” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang kurang akal; tetapi mereka tidak tahu.

14. Dan apabila mereka[10] berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman”. Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan mereka[11], mereka berkata: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.”

15. Allah akan memperolok-olokan mereka[12] dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan[13].

16. Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk[14], Maka perdagangan mereka itu tidak beruntung dan mereka tidak mendapat petunjuk.


[1] Mereka adalah orang-orang munafik yang luarnya menampakkan keislaman, namun batinnya kafir. Kemunafikan ini adalah kemunafikan besar yang terkait dengan akidah dan mengeluarkan pelakunya dari Islam. Berbeda dengan kemunafikan kecil yang terkait dengan amalan, ia tidaklah mengeluarkan pelakunya dari Islam namun sebagai wasilah/sarana yang bisa mengarah kepada kemunafikan besar, misalnya bila bicara berdusta, bila berjanji mengingkari, bila diamanahkan berkhianat, malas beribadah, berat melaksanakan shalat berjama’ah dsb. Di antara kelembutan Allah Ta’ala kepada kaum mukminin adalah ditampakkan-Nya kepada kaum mukminin hal-ihwal serta sifat mereka yang membedakan dengan yang lain agar kaum mukminin tidak tertipu oleh mereka. Mereka dikatakan “tidak beriman” karena iman yang sesungguhnya adalah pengakuan lisan yang dibenarkan oleh hati dan dipraktekkan oleh anggota badan, jika tidak seperti itu sama saja hendak menipu.

[2] Karena akibat penipuan itu kembalinya tidak kepada siapa-siapa selain kepada diri mereka sendiri. Namun sayang karena kebodohan mereka yang sangat membuat mereka tidak menyadari.

[3] Yakni keyakinan mereka terdahap kebenaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lemah dan mereka masih ragu-ragu. Kelemahan dan keragu-raguan keyakinan itu menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, agama dan orang-orang Islam, lalu tidak diobati sehingga Allah menambah lagi penyakit terebut.

Penyakit yang menimpa hati ada dua; penyakit syubhat dan penyakit syahwat. Kekafiran, kemunafikan, keraguan dan bid’ah merupakan penyakit syubhat, sedangkan kecintaan terhadap perbuatan keji dan maksiat merupakan penyakit syahwat.

[4] Yakni ketika mereka dinasehati.

[5] Kerusakan yang mereka perbuat di muka bumi bukan berarti kerusakan benda, melainkan dengan melakukan kekafiran dan kemaksiatan, yang di antaranya menyebarkan rahasia kaum muslimin kepada musuh mereka, menghasut orang-orang kafir untuk memusuhi dan menentang orang-orang Islam.

[6] Secara dusta dan bermaksud membantah.

[7] Perbuatan yang mereka lakukan itu dengan anggapan mengadakan perbaikan sesungguhnya adalah kerusakan, akan tetapi karena kebodohan dan penentangan mereka membuat mereka tidak menyadari bahwa yang demikian merupakan kerusakan. Kemaksiatan yang besar adalah kemaksiatan yang dilakukan dengan meyakini benarnya perbuatan itu dan seperti inilah keadaan mereka sehingga sangat sulit untuk rujuk, berbeda dengan kemaksiatan yang dilakukan dengan meyakini salahnya perbuatan itu, orang yang seperti ini lebih mudah untuk rujuk.

[8] Karena tidak ada kerusakan yang paling besar daripada mengingkari ayat-ayat Allah, menghalangi manusia dari jalan-Nya, hendak menipu Allah dan para wali-Nya dan menolong orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya ditambah dengan agggapan bahwa hal itu merupakan perwujudan mengadakan perbaikan. Perbuatan maksiat dikatakan sebagai kerusakan karena rusaknya bumi diakibatkan oleh maksiat, sebaliknya bumi hanya akan menjadi baik dengan iman dan keta’atan kepada Allah Ta’ala. Untuk itulah Allah menciptakan manusia dan melimpahkan rezeki kepada mereka, yakni agar mereka gunakan untuk keta’atan dan ibadah kepada-Nya, jika yang dilakukan malah kebalikannya maka sama saja berusaha merusak bumi.

[9] Yakni sebagaimana para sahabat Nabi radhiyallahu ‘ahum beriman, di mana iman mereka tidak sekedar di lisan tetapi masuk ke hati dan diamalkan oleh anggota badan, mereka membantah dengan mengatakan, “Apakah kami akan beriman sebagaimana orang-orang yang kurang akal beriman?” maka Allah membantah bahwa merekalah yang kurang akal, karena hakikat kurang akal adalah tidak mengetahui hal yang bermaslahat untuk dirinya dan mengerjakan sesuatu yang merugikannya.

[10] Yakni orang-orang munafik.

[11] Maksudnya, pemimpin-pemimpin mereka yang kafir.

[12] Sifat tersebut “mengolok-olok” menjadi sifat sempurna dalam keadaan “jika menghadapi orang-orang yang melakukan perbuatan seperti itu,” karena yang demikian menunjukkan bahwa yang memilikinya juga memiliki kemampuan untuk membalas musuhnya dengan melakukan tindakan yang sama atau lebih, dan sifat tersebut tentu akan menjadi sifat kekurangan dalam keadaan selain ini. Oleh karena itu, ia sebagai sifat bagi Allah Ta’ala namun tidak secara mutlak dan tidak menjadi nama-Nya.

[13] Allah Ta’ala membiarkan mereka agar bertambah sesat, bingung dan bimbang serta memberikan balasan olok-olokkan yang mereka lakukan kepada kaum mukmin. Di antara olok-olokkan-Nya kepada mereka (kaum munafik) adalah dengan dihiasnya perbuatan yang menyebabkan mereka sengsara dan dihiasnya keadaan yang buruk, termasuk olok-olokkan-Nya kepada mereka pada hari kiamat adalah dengan diberikan-Nya kepada mereka dan kepada kaum mukmin cahaya yang nampak, ketika kaum mukmin berjalan dengan cahayanya, tiba-tiba cahaya mereka (kaum munafik) padam sehingga mereka dalam kegelapan lagi bingung. Alangkah besarnya putus asa jika awalnya didahului oleh harapan yang berada di depan mata. Memang, orang-orang munafik memperoleh manfa’at dari kekafiran yang mereka sembunyikan; darah dan harta mereka selamat, demikian juga memperoleh keamanan, namun bisa saja maut datang menjemput sehingga yang mereka peroleh hanyalah kegelapan kubur, kegelapan kufur, kegelapan nifak (kemunafikan) dan kegelapan maksiat sesuai jenisnya, setelah itu adalah neraka dan neraka itulah tempat kembali yang paling buruk.

[14] Mereka membeli kekafiran dengan iman; membeli kesesatan dengan petunjuk, sehingga mereka tidak memperoleh apa-apa, bahkan hanya memperoleh kerugian karena tidak mendapat petunjuk dan akan membawanya kepada neraka, yang demikian itulah kerugian yang sesungguhnya. Jika seorang membeli uang satu dirham dengan harga satu dinar atau mengeluarkan modal untuk usaha sejumlah sepuluh juta sisanya tinggal satu juta tanpa keuntungan sudah dianggap rugi, lalu bagaimana dengan orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, membeli kekafiran dengan keimanan dan membeli kesengsaraan dengan kebahagiaan, alangkah ruginya perdagangan itu.

0 komentar

Posting Komentar