Tafsir Al Qur'an Surat Baqarah Ayat Yang Ke: 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, Dan 195.
Baca juga tafsir ayat sebelumnya disini.
Ayat 188: Larangan memakan harta manusia dengan jalan yang batil
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٨
188. Janganlah kamu makan harta sesama kamu[1] dengan jalan yang batil[2], dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.
Ayat 189: Menerangkan bahwa hilal (bulan sabit) merupakan penunjuk waktu beribadah
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٨٩
Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 189
189. Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit[3]. Katakanlah: “Bulan sabit adalah penunjuk waktu bagi manusia[4] dan (bagi ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[5], akan tetapi kebajikan adalah kebajikan orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya[6] [7], dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung[8].Ayat 190-195: Syariat berperang, penjelasan tentang hukum-hukumnya dan adab-adabnya
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (١٩٠) وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ (١٩١) فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٩٢) وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ (١٩٣) الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (١٩٤) وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٩٥
Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 190-195
190.[9] Dan perangilah di jalan Allah[10] orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas[11]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
191. Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka[12], dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah). Dan fitnah[13] itu lebih kejam daripada pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram[14], kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikanlah[15] Balasan bagi orang-orang kafir.
192. Tetapi jika mereka berhenti[16], maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[17].
193. Dan perangilah mereka itu, sampai tidak ada fitnah lagi[18], dan ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah[19]. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim[20].
194. Bulan Haram dengan bulan haram[21], dan pada sesuatu yang patut dihormati[22], berlaku hukum qishash. Oleh sebab itu barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah[23] dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa[24].
195.[25] Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah[26], dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan[27], dan berbuat baiklah[28]. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
[1] Ayat tersebut mengidhafatkan (menghubungkan) harta orang lain kepada kita “amwaalkum” (hartamu), karena sepatutnya seorang muslim mencintai agar orang lain memperoleh apa yang ingin diperolehnya dan menjaga harta orang lain sebagaimana dirinya menjaga hartanya sendiri. Di samping itu, memakan harta orang lain akan menjadikan orang lain akan memakan harta kita ketika mampu.
[2] Yakni dengan sebab yang batil, misalnya dengan sumpah yang dusta, merampas, mencuri, risywah (suap), riba, khianat ketika dititipi barang atau diberi pinjaman dsb. Termasuk ke dalam ayat ini adalah mu’amalah yang haram, seperti riba, judi dengan semua bentuknya, melakukan penipuan (ghisy) dalam jual beli dan sewa-menyewa, jual beli gharar, mengangkat karyawan namun dimakan gajinya, mengambil upah dari pekerjaan yang mereka tidak melakukannya. Bahkan termasuk pula orang-orang yang melakukan ibadah dengan niat memperoleh dunia, di mana asas penggeraknya adalah dunia, mereka tidak mau menjadi muazzin kecuali jika mendapatkan imbalan, dsb. Demikian pula mengambil zakat, sedekah, waqf maupun wasiat padahal mereka tidak berhak atau melebihi haknya. Ini semua merupakan pengambilan harta dengan jalan yang batil, meskipun sampai terjadi pertengkaran yang kemudian dibawa kepada hakim, kemudian orang yang hendak memakan harta orang lain dengan jalan yang batil mengemukakan hujjah-hujjah yang batil untuk mengalahkan orang yang sebenarnya berhak, lalu hakim memutuskan demikian, maka ketetapan hakim tersebut bagaimana pun juga tidaklah menghalalkan yang haram, dan hakim hanyalah memutuskan sesuai yang ia dengar. Jika ia sampai memakan harta itu, maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan jalan yang batil dan berbuat dosa dalam keadaan mengetahui, sehingga hukumannya di akhirat lebih berat lagi.
Oleh karena itu, seorang wakil jika telah mengetahui bahwa yang mengangkatnya batil dalam dakwaannya, maka tidak halal baginya menjadi pengacara baginya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Wa laa takul lil khaa’iniina khashiimaa” (janganlah kamu menjadi pembela bagi orang-orang yang berkhianat), surat An Nisaa: 105.
[3] Yakni apa faedah dan hikmah dari adanya bulan sabit.
[4] Misalnya waktu untuk berpuasa dan berbuka (berhari raya), waktu kehamilan wanita dan waktu bagi wanita menjalani masa ‘iddah. Demikian juga waktu yang dipakai dalam bermu’amalah misalnya kapan dibayar hutangnya, kapan lama bekerjanya dan kebutuhan lainnya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala menjadikan bulan sebagai hisab (perhitungan tanggal) bagi manusia yang dapat diketahui dengan mudah oleh manusia, khususnya oleh orang-orang awam. Jika seandainya menggunakan matahari, tentu tidak ada yang mengetahuinya selain segelintir orang.
[5] Pada masa jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji biasa memasuki rumah dari belakang bukan dari depan dan mereka mengira bahwa hal itu merupakan kebajikan (kebaikan). Maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala menerangkan bahwa yang demikian bukanlah kebaikan, karena Allah tidak mensyari’atkannya kepada mereka, demikian pula Rasul-Nya. Oleh karena itu, setiap orang yang beribadah, namun tidak disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya, maka cara ibadahnya mardud (tertolak).
[6] Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa ia mendengar Al Barra’ berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan kami, di mana orang-orang Anshar apabila telah berhaji, mereka datang tanpa masuk melewati pintu rumah mereka, tetapi dari belakangnya, lalu ada seorang Anshar yang masuk melalui pintu rumahnya, dan nampaknya ia dicela oleh yang lain, maka turunlah ayat, “Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya akan tetapi kebajikan adalah kebajikan orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya.”
[7] Memasuki rumah-rumah dari pintu-pintunya lebih memudahkan mereka, dan inilah yang wajar. Dari ayat di atas, kita dapat menarik kesimpulan, yaitu hendaknya seseorang -dalam semua urusan- menggunakan jalan yang mudah dan lebih dekat serta lebih sampai kepada maksud dan tujuan. Dalam beramr ma’ruf dan bernahi munkar, hendaknya ia melihat keadaan orang yang hendak diperintahnya, dengan begitu ia dapat bertindak dengan lembut serta menggunakan siasat agar tercapai maksud atau sebagiannya. Demikian juga bagi pelajar atau pengajar, hendaknya ia menggunakan cara yang mudah dan ringan, di mana dengan cara itu tercapai maksudnya. Perlu diingat, bahwa jika seseorang hendak mengerjakan suatu perkara, ia pun telah mendatangi melalui pintu-pintunya, kemudian maksud dan tujuannya tercapai, maka itu semua tidak lepas dari pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
[8] Memperoleh apa yang dicita-citakan dan terhindar dari apa yang dikhawatirkan.
[9] Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dihalangi oleh orang-orang kafir mendatangi Baitullah pada tahun Hudaibiyah, lalu Beliau mengadakan perjanjian dengan orang-orang kafir agar Beliau bersama para sahabatnya dapat berumrah di tahun yang akan datang, kemudian mereka mengizinkan untuk Beliau tinggal di Makkah selama tiga hari. Maka Beliau bersiap-siap untuk melakukan ‘umrah qadha’, dan karena khawatir kaum kafir Quraisy tidak menepati janji dengan memerangi Beliau dan para sahabatnya, ssedangkan para sahabat tidak mau memerangi mereka di tanah haram, ketika ihram dan di bulan haram, maka turunlah ayat di atas.
[10] Untuk meninggikan agama-Nya. Perintah berperang di jalan Allah dimulai setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, ketika kaum muslimin memiliki kekuatan. Allah memerintahkan demikian setelah sebelumnya mereka diperintahkan menahan diri. Disebutkan “di jalan Allah” adalah untuk mendorong mereka berbuat ikhlas dan larangan ikut berperang ketika terjadi fitnah antara kaum muslimin, karena hal itu bukan “fii sabilillah”.
[11] Yakni dengan mengerjakan larangan. Misalnya mencincang, ghulul (khianat dalam ghanimah), membunuh orang yang tidak halal dibunuh seperti wanita, anak-anak, orang gila, rahib, orang yang sudah tua renta dan yang sama dengan mereka (seperti golongan lemah yang tidak ikut berperang), demikian juga membunuh hewan dan memotong pepohonan yang tidak ada maslahatnya bagi kaum muslimin. Termasuk melampaui batas juga adalah memulai peperangan.
[12] Baik dalam jihad difa’ (membela diri) maupun jihad fath (penaklukkan negeri di bawah pimpinan imam kaum muslimin).
[13] Fitnah di ayat ini adalah kekafiran, kemusyrikan dan menghalangi manusia dari jalan Allah. Termasuk juga mengusir kaum muslim dari kampung halamannya, merampas harta mereka dan menyakiti atau mengganggu kebebasan mereka beragama. Fitnah tersebut lebih kejam daripada peperangan yang terjadi di tanah haram. Maksud lebih kejam di sini adalah lebih dahsyat mafsadat atau bahayanya.
Dari ayat di atas keluar ka’idah fiqh, “Yurtakabu akhafful mafsadatain lidaf’i a’laahaa” (dilakukan mafsadat yang ringan untuk menolak mafsadat lebih besar).
[14] Sebagai penghormatan kepada Masjidilharam.
[15] Yaitu pembunuhan dan pengusiran.
[16] Dari kekafiran serta dari sikap memusuhi dan memerangi kamu.
[17] Allah Subhaanahu wa Ta’aala akan mengampuni mereka yang berhenti dari kekafiran dan masuk Islam, meskipun mereka telah mengerjakan dosa yang sangat besar, yaitu kekafiran dan kemusyrikan di Masdjidil haram.
[18] Sampai tidak ada lagi penindasan kepada kaum muslim dan tidak ada lagi kemusyrikan.
[19] Hanya Allah Subhaanahu wa Ta’aala saja yang disembah. Inilah tujuan dari peperangan, yakni bukan untuk menumpahkan darah dan mengambil harta mereka, tetapi agar agama Allah-lah yang nampak dan tidak ada lagi yang menghalanginya seperti syirk dan lainnya. Oleh karena itu, jika mereka berhenti dari kekafiran dan masuk Islam, maka tidak boleh diperangi atau dibunuh.
[20] Yakni orang-orang yang tetap kafir lagi memusuhi.
[21] Kalau umat Islam diserang di bulan haram, yang sebenarnya di bulan itu tidak boleh berperang, maka diperbolehkan membalas serangan itu di bulan itu juga. Hal itu, karena merekalah yang memulai lebih dulu.
[22] Maksudnya adalah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram, atau lebih umum lagi, yaitu mencakup semua perkara yang diperintahkan syara’ untuk dihormati. Oleh karena itu, barangsiapa yang berani lancang teradapnya, maka diqishas. Siapa saja yang menyerang di bulan haram, maka diperangi lagi, siapa saja yang menodai tanah haram, maka ditegakkan had terhadapnya, siapa saja yang membunuh orang yang sekufu’ atau setaraf ddengannya maka dibunuh lagi, siapa saja yang melukai orang yang dihormati jiwanya atau memotong anggota tubuhnya, maka diadakan qishas, dan siapa saja yang mengambil harta orang lain yang dihormati hartanya, maka diambil pula hartanya sebagai gantinya. Namun apakah pemilik hak berhak mengambil hartanya seukuran haknya atau tidak? Dalam hal ini ada khilaf di antara ulama, yang rajih adalah jika sebabnya zhahir (nampak) misalnya tamu, ketika orang lain tidak menjamunya atau istri ketika ia tidak diberi nafkah, maka ia boleh mengambil harta itu. Ssebaliknya, jika sebabnya tersembunyi, misalnya orang yang menyangkal hutang orang lain atau mengkhianati barang titipan atau melakukan pencurian, maka dalam hal ini tidak boleh baginya mengambil hartanya sebagai ganti berdasarkan hasil jama’ (kompromi) dari dalil-dalil.
[23] Oleh karena itu, jangan membalas lebih.
[24] Dengan memberikan pertolongan dan kemenangan-Nya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak bertakwa, maka Allah akan membiarkannya, menyerahkan masalahnya kepada dirinya sendiri, sehingga dirinya mudah binasa.
[25] Imam Bukhari meriwayatkan dari Hudzaifah tentang ayat, “Wa anfiquu fii sabiilillah walaa tulquuu bi-aydiikum ilat tahlukah” ia berkata, “Ayat tersebut turun tentang nafkah.” Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Aslam Abu Imran At Tujaibiy ia berkata, “Kami ketika berada di kota Romawi, penduduk Roma mengerahkan pasukan besar untuk melawan kami, lalu kaum muslimin yang jumlahnya sama besar dengan mereka atau lebih keluar untuk menghadapi mereka. Pasukan Mesir diketuai oleh Ukbah bin ‘Amir, sedangkan pasukan yang lain diketuai Fudhalah bin ‘Abiid, kemudian ada seorang dari kaum muslimin yang masuk ke barisan musuh, lalu ada yang berteriak dan berkata, “Subhaanallah! Ia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan.” Maka Abu Ayyub berkata, “Wahai manusia! Sesungguhnya kamu mena’wil ayat ini dengan ta’wil tersebut, padahal ayat tersebut turun mengenai kami kaum Anshar ketika Allah telah memenangkan Islam dan memperbanyak pembelanya, lalu sebagian kami berkata kepada yang lain secara bisik-bisik tanpa memperhatikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya harta kita telah habis, dan Allah telah menguatkan Islam serta memperbanyak pembelanya, apa tidak sebaiknya kita mengurus harta kita dan memperbaiki yang habis daripadanya.” Maka Allah Tabaaraka wa Ta’aala menurunkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menolak perkataan kami, “Wa anfiquu fii sabiilillah walaa tulquuu bi-aydiikum ilat tahlukah“. Oleh karena itu, kebinasaan tersebut adalah ketika sibuk mengurus harta dan meninggalkan perang, maka Abu Ayyub senantiasa tampil di jalan Allah sehingga Beliau wafat di Romawi.” (Hadits ini hasan gharib shahih).
Thabrani meriwayatkan dalam Al Kabir dan Al Awsath dari Nu’man bin Basyir tentang ayat, “Walaa tulquuu bi-aydiikum ilat tahlukah“, ia berkata, “Terkadang ada seorang yang berdosa berkata, “Mungkin Allah tidak mengampuniku,” maka Allah menurunkan ayat “Walaa tulquuu bi-aydiikum ilat tahlukah…dst.” (Hadits ini para perawinya adalah para perawi kitab shahih).
Di antara kedua hadits tersebut, yang lebih jelas adalah hadits pertama, karena bagian pertama ayat tersebut diawali dengan perintah berinfak, namun demikian kedua-duanya bisa dipakai. Oleh karena itu, ayat tersebut bisa mengena kepada orang-orang yang meninggalkan jihad dan bersikap bakhil, demikian juga mengena kepada orang yang berbuat dosa dan mengira bahwa Allah tidak mengampuni dosanya.
[26] Untuk membela agama Allah dan berjihad di jalan-Nya, karena jihad fii sabilillah tidak bisa tegak tanpa adanya infak. Infak merupakan ruhnya, dan ketidakadaannya dapat menghilangkan jihad dan menjadikan musuh lebih kuat. Termasuk “jalan Allah” lainnya adalah jalan-jalan kebaikan lainnya seperti bersedekah kepada orang miskin, kerabat dan kepada orang yang ditanggungnya.
[27] Menjatuhkan diri dalam kebinasaan itu terbagi dua:
– Meninggalkan perintah Allah, jika dalam perintah itu dapat mengakibatkan atau bisa mengarah kepada binasanya badan atau ruh, dan dengan mengerjakan sebab yang dapat membawa kepada binasanya badan atau ruh. Termasuk ke dalam hal ini, meninggalkan jihad fii sabilillah, tidak menginfakkan harta untuk itu dan membawa dirinya ke tempat-tempat berbahaya (misalnya mendatangi tempat di mana di sana banyak binatang buas dan ular, menaiki bangunan dan pepohonan yang tinggi dan berbahaya) dsb.
– Mengerjakan maksiat, berputus asa dari tobat dan meninggalkan kewajiban, di mana semua itu dapat membinasakan ruh dan agamanya.
[28] Maksudnya: “Berbuat ihsanlah dalam berinfak dan dalam semua ketaatan serta jadikanlah semua amalmu ikhlas karena Allah Azza wa Jalla.”
Termasuk ihsan pula adalah membantu orang lain dengan jah/kedudukan yang dimilikinya (biasa disebut “syafa’at”), beramr ma’ruf dan bernahi munkar, mengajarkan ilmu yang bermanfa’at, memenuhi kebutuhan manusia, menghilangkan derita yang menimpa mereka, menjenguk orang yang sakit, mengiringi jenazah, membimbing orang yang tersesat, membantu orang yang mengerjakan sesuatu, mengajarkan keterampilan, dan berbuat ihsan dalam beribadah seperti yang disebutkan Nabbi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, jika kamu tidak merasa begitu maka ketahuilah bahwa Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Tags: Tafsir Lengkap, Al Quran Digital, Arti Ayat Al Quran, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Ayat Ayat Al Quran, Download Tafsir Al Quran, Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki, Tafsir Al Quran Online, Tafsir Quran Indonesia, Terjemahan Al Quran
0 komentar
Posting Komentar