Tafsir An Nisa Ayat Yang Ke 11 Dan 12.
Ini adalah ayat yang berisi tentang harta waris, aturan pembagian warisan, as-habul furuudh (ahli waris), dan faedah-faedahnya.
Ayat 11-12: Menerangkan ukuran yang diperoleh ahli waris dari harta warisan
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (١١) وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (١٢)
11.[1] [2] Allah mensyari’atkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu[3], yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan[4]. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga[5] dari harta yang ditinggalkan[6]. Jika anak perempuan itu seorang saja[7], maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak[8]. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga[9]. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara[10], maka ibunya mendapat seperenam[11]. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar hutangnya[12]. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu[13]. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
12. Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak[14]. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) setelah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah[15] dan tidak meninggalkan anak[16], tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu[17], setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya[18] atau (dan) setelah dibayar hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris)[19]. Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
[1] Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar menjengukku di Bani Salamah dengan berjalan kaki. Ketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkanku dalam keadaan tidak sadar. Maka Beliau meminta dibawakan air, lalu berwudhu’ daripadanya dan memercikkan air ke mulutku, kemudian aku sadar. Lantas aku berkata, “Apa perintahmu kepadaku tentang hartaku (ini), wahai Rasulullah.” Maka turunlah ayat, “Yuushiikumullahu fii awlaadikum…dst.”
[2] Ayat di atas (yakni ayat 11 dan 12) serta ayat terakhir surat An Nisa’ adalah ayat-ayat tentang warisan, ditambah dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا ، فَمَا بَقِىَ فَهْوَ لأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
sudah mencakup sebagian besar hukum-hukum faraa’idh, bahkan menerangkan semuanya sebagaimana yang akan kita lihat selain warisan nenek shahih; yang tidak disebutkan di sana. Namun telah tsabit (tetap) dalam As Sunnah, dari Mughirah bin Syu’bah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan 1/6 kepada nenek, dan para ulama pun telah sepakat seperti itu.
[3] Ada yang menafsirkan lebih luas lagi kata-kata “Yuushiikumullahu fii awlaadikum“, yakni wahai para orang tua, di sisi kalian ada titipan yang Allah wasiatkan terhadapnya, yaitu agar kamu memperhatikan maslahat anak-anakmu baik terkait dengan agama maupun dunia, kamu membimbing mereka dan mengajarkan adab serta menghindarkan dari mafsadat, kamu menyuruh mereka menaati Allah dan agar senantiasa bertakwa sebagaimana firman-Nya “Quu anfusakum wa ahliikum naaraa” (Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka). Oleh karena itu, orang tua mendapatkan wasiat terhadap anak-anaknya; yakni apakah orang tua akan memenuhi wasiat itu atau mengabaikannya sehingga mereka memperoleh ancaman dan siksa. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada sayangnya orang tua mereka, di mana Allah Ta’ala mewasiatkan para orang tua untuk memperhatikan anaknya meskipun orang tua memiliki rasa sayang yang dalam kepada anaknya.
[4] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34). Anak laki-laki di ayat ini adalah anak kandung, anaknya anak (cucu) dst. ke bawah, jika tidak ada orang yang mendapat bagian tertentu (shahib fardh) atau bagian telah diberikan kemudian ada sisa, maka anak-anak menghabisinya dengan ketentuan seorang anak laki-laki mendapat dua bagian dua anak perempuan. Jika masih ada anak kandung, maka anaknya anak (cucu) tidak mendapatkan bagian. Keadaan di atas adalah ketika berkumpul anak laki-laki dengan anak perempuan.
[5] “Lebih dari dua” maksudnya dua atau lebih. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kepada dua puteri Sa’ad 2/3. Baik anak perempuan tersebut adalah anak kandung atau puteri dari anak laki-laki. Faedah disebutkan “lebih dari dua” adalah untuk memberitahukan bahwa bagian 2/3 itu tidaklah bertambah meskipun jumlah anak perempuan itu banyak. Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa jika ada anak perempuan kandung seorang saja dan ada seorang atau lebih puteri dari anak laki-laki, maka anak perempuan kandung mendapatkan 1/2, sisanya dari 2/3 yaitu 1/6 diberikan kepada seorang puteri dari anak laki-laki atau lebih, inilah yang dimaksud dengan menyempurnakan menjadi 2/3. Termasuk ke dalam contoh ini adalah puteri dari anak laki-laki bersama dengan puteri dari anak laki-laki yang di bawahnya.
[6] Kata-kata “dari harta yang ditinggalkan” menunjukkan bahwa ahli waris mewarisi semua yang ditinggalkan si mati, baik ‘aqaar (benda tidak bergerak/tidak bisa dipindahkan), perabot, emas, perak dsb. bahkan termasuk pula diyat yang tidak wajib kecuali setelah meninggalnya dan piutang yang ada pada orang lain.
Berdasarkan keterangan ini, maka bahwa harta warisan itu terbagi dua:
– Harta warisan yang dapat dibagi. Misalnya uang, tanah yang harga dan isinya sama, dsb.
– Harta yang tidak bisa dibagi sama rata. Misalnya bangunan, tanah yang berbeda isinya, barang perkakas, kendaraan, dan lainnya.
Harta yang dapat dibagi, bisa langsung diberikan berdasarkan bagiannya masing-masing. Akan tetapi, harta yang tidak bisa dibagi, harus diuangkan terlebih dahulu. Kalau tidak, maka hanya akan diperoleh angka bagian di atas kertas dalam bentuk nisbah (persentase). Artinya masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya, memiliki saham atas harta tersebut.
Misalnya seorang wafat meninggalkan dua buah rumah yang sama besar, tetapi beda harganya. Ia memiliki dua orang anak laki-laki, maka harta ini tidak dapat dibagi Kecuali jika mereka mau berdamai, atau saling mengikhlaskan, itu pun setelah mengetahui bagian yang seharusnya mereka terima] tetapi hanya bisa diberikan nisbah (persentase) bagian sebagaimana yang sudah diatur dalam ilmu Faraa’id.
Menurut sebagian ulama termasuk juga ke dalam tarikah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mayyit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya, atau hak dia yang ada pada orang lain seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan atau barang baru yang diperoleh karena terbunuhnya dia, atau kecelakaan yang berupa santunan ganti rugi.
Adapun barang yang tidak berhak diwarisi di antaranya adalah:
a. Peralatan tidur untuk istri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada istrinya semasa hidupnya.
b. Harta yang diwaqafkan oleh si mati, seperti kitab dan lainnya.
c. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya diserahkan kepada pemiliknya atau diserahkan kepada pihak yang berwajib.
Perlu diketahui bahwa tidak termasuk tarikah hibah dan wasiat.
Adapun hibah adalah pemberian yang dilakukan ketika si mati masih hidup, sedangkan wasiat adalah pemberian yang dilakukan ketika si mati sudah meninggal.
Faedah:
– Jika istri ikut mengusahakan (bekerja membeli) sebuah rumah (misalnya separuh dia yang membayarkan), maka rumah tersebut yang berhak diwariskan hanya separuh.
– Jika istri ikut bekerja dengan suami atau modal dari pihak isteri dan suami sama banyak, maka kedua-duanya memiliki hak mendapat separuh. Dalam usaha mendapatkan kekayaan itu, jika suami bekerja lebih, maka ia boleh mengambil hartanya secara ma’ruf (pantas), begitu juga isteri. Semua yang disebutkan ini, jika tidak ada perjanjian antara mereka berdua lebih dahulu. Apabila ada perjanjian, maka perjanjian itu harus diikuti, hal ini disebut juga syarikatul abdaan, yakni berserikat dengan badan untuk menghasilkan harta.
[7] Yakni seorang anak perempuan kandung atau puteri dari anak laki-laki.
[8] Baik anak laki-laki atau anak perempuan. Demikian juga baik anak itu adalah anak kandung atau anaknya anak (cucu), baik seorang saja atau lebih. Bagi ibu jatahnya tidak lebih dari 1/6 ketika ada anak, adapun bapak jika bersama anak laki-laki, maka jatahnya tidak lebih dari 1/6 (tanpa ditambah sisa), namun jika anaknya seorang wanita atau beberapa orang wanita dan tidak ada sisa –seperti halnya jika ahli waris hanya ibu-bapak dan dua orang puteri yang totalnya 6/6 (dari 1/6 (bapak) + 1/6 (ibu) + 2/3 (2 puteri) sehingga tidak bersisa)- maka bapak tidak mendapatkan sisa. Tetapi jika masih ada sisa setelah diberikan bagian seorang puteri atau beberapa orang puteri, maka bapak disamping mengambil jatahnya 1/6, ia pun mengambil sisanya sebagai ‘ashabah. Inilah yang dimaksud hadits, “Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam hal ini bapak lebih dekat dengan si mati daripada saudara, paman dan lainnya. Oleh karenanya, urutan terdekat adalah bunuwwah (anak dst. ke bawah), ubuwwah (bapak dst. ke atas), ukhuwwah (saudara dan anak-anaknya) dan umuumah (paman dan anak-anaknya).
[9] Sedangkan sisanya untuk bapak, hal ini karena sebelumnya harta disandarkan kepada ibu dan bapak, lalu disebutkan bagian ibu yaitu 1/3, berarti sisanya untuk bapak. Dari sini diketahui, bahwa seorang bapak jika tidak ada anak, maka ia tidak ada fardh (bagian tertentu), bahkan mewarisi semua harta atau mewarisi sisanya setelah diberikan jatah (fardh) yang memiliki jatah. Tetapi, jika bersama ibu dan bapak ada salah satu suami atau istri –hal ini biasa disebut masalah ‘Umariyyatain-, maka suami atau istri setelah mengambil bagiannya, lalu ibu mengambil 1/3 dari sisa dan sisanya untuk bapak.
Contoh masalah umariyyatain adalah:
– (Si mati meninggalkan) suami, ibu dan ayah, masalahnya adalah 6 (KPK antara 2 (dari ½) dan 3 (dari 1/3)), sehingga untuk suami ½ dari 6 yaitu 3, untuk ibu 1/3 dari sisa yaitu 1, dan untuk ayah sisanya yaitu 2.
– Istri, ibu dan ayah, masalahnya adalah 4, untuk istri 1/4 yaitu 1, untuk ibu 1/3 dari sisanya yaitu 1, dan untuk ayah sisanya yaitu 2.
[10] Dua orang atau lebih, baik mereka laki-laki saja, atau laki-laki bersama wanita atau wanita saja, juga sama saja baik sekandung, seayah atau seibu; laki-laki atau perempuan, menjadi ahli waris (misalnya ketika bapak tidak ada) atau terhalang dengan bapak (karena ada bapak) atau kakek. Namun ada yang berpendapat bahwa zhahir ayat “ Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara ” tidak mencakup kepada yang bukan ahli waris. Oleh karena itu, yang bisa menghalangi ibu mendapatkan 1/3 hanyalah saudara yang menjadi ahli waris (seperti ketika bapak tidak ada). Jika saudara-saudara bukan ahli waris (misalnya karena ada bapak), maka mereka tidak menghalangi ibu mendapat 1/3. Namun demikian, hal ini dengan syarat jumlah saudara itu dua atau lebih.
Berdasarkan keterangan di atas, maka bagian ibu ketika ada saudara:
Pertama, mendapat 1/6 jika ada beberapa orang saudara yang menjadi ahli waris (seperti ketika tidak ada bapak).
Kedua, mendapat 1/3 jika ada beberapa orang saudara yang bukan menjadi ahli waris (seperti ketika ada bapak).
Namun ada pula yang berpendapat bahwa jika ada beberapa saudara, baik ia menjadi ahli waris atau tidak, maka ibu tetap mendapat 1/6, wallahu a’lam.
[11] Sisanya untuk bapak, dan saudara tidak mendapat apa-apa karena mahjub (terhalang).
[12] Urutannya adalah dibayarkan hutang terlebih dahulu, baru kemudian dipenuhi wasiatnya. Didahulukan kata wasiat pada ayat di atas adalah agar kita memperhatikannya, karena biasanya ahli waris berat mengeluarkannya. Hutang di ayat ini pun mencakup hutang kepada Allah maupun hutang kepada manusia.
Dengan demikian, urutan yang harus dikeluarkan dari tarikah adalah sbb:
– Hutang yang berkaitan dengan ‘ain (benda) tarikah, misalnya ada benda milik orang lain pada harta si mati.
– Biaya pengurusan jenazah
– Hutang lepas, yakni yang tidak berkaitan dengan ‘ain tarikah. Dalam hal ini menurut sebagian ulama didahulukan hutang kepada Allah, baru kemudian hutang kepada manusia.
– Wasiat.
Setelah itu dilakukan pembagian warisan.
[13] Jika sekiranya ukuran warisan diserahkan kepada akal dan pikiran kamu tentu akan timbul madharat (bahaya) yang hanya Allah yang mengetahuinya, karena keterbatasan akalmu dan tidak mengetahui hal yang lebih tepat, cocok dan dapat digunakan di setiap waktu dan setiap tempat. Kamu tidak mengetahui apakan anak atau kedua orang tua yang lebih besar manfaatnya dan lebih dekat kepada tujuan agama dan dunia.
[14] Yakni anak kandung atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan, seorang atau lebih, baik lahir dari suami atau dari laki-laki lain. Namun tidak mengurangi jatah suami (1/2) atau istri (1/4) anak dari puterinya berdasarkan ijma’.
[15] Dan kakek dst. ke atas .
[16] Anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki dst. ke bawah.
Ahli waris yang tidak meninggalkan bapak/kakek dan anak/cucu disebut dengan kalalah. Berdasarkan ayat ini, maka bapak/kakek dan anak/cucu ketika ada menghalangi saudara/i seibu mendapatkan bagian 1/6 atau 1/3.
[17] Yakni mereka tidak lebih dari 1/3 meskipun jumlahnya lebih dari dua. Ayat ini juga menunjukkan bahwa yang laki-laki dan yang wanitanya mendapatkan bagian yang sama, karena lafaz “syurakaa” di ayat tersebut menunjukkan sama. Kata-kata “Fahum syurakaa’ fits tsuluts” menunjukkan bahwa saudara sekandung menjadi gugur (tidak mendapat warisan) dalam masalah yang biasa disebut sebagai masalah Himaariyyah (dinamakan himariyyah menurut riwayat adalah karena dalam kasus seperti ini, seorang hakim pernah memutuskan bahwa saudara sekandung tidak mendapatkan bagian, sehingga yang tidak mendapatkan bagian ini berkata, “Katakanlah ayah kami himar (keledai) atau batu yang dicampakkan ke laut, namun bukankah ibu kami satu? Mengapa saudara seibu dapat pusaka, padahal kami juga seibu dengan mereka, tetapi mengapa tidak dapat?”) ,yaitu ketika si mati meninggalkan suami, ibu, saudara/i seibu dan saudara kandung. Suami mendapatkan 1/2, ibu mendapatkan 1/6, saudara/i seibu mendapatkan 1/3, sedangkan saudara-saudara sekandung gugur (karena harta habis). Hal itu, karena Allah menyandarkan 1/3 kepada saudara/i seibu, jika sekiranya saudara-saudara sekandung ikut mengambil bagian, tentu hal ini sama saja menyatukan masalah yang Allah memisahkannya. Di samping itu, saudara/i seibu tergolong as-habul furudh (orang-orang yang berhak mendapat bagian tertentu), sedangkan saudara sekandung tergolong ‘ashabah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ““Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat.” (lafaznya sudah disebutkan sebelumnya). Dalam masalah himariyyah ini, tidak ada sisa, karena bagiannya telah habis diambil oleh as-habul furudh sehingga saudara sekandung tidak mendapatkannya (gugur).
Adapun bagian saudara/i sekandung atau sebapak, maka sudah disebutkan di akhir surat An Nisaa’, “Yastaftuunaka fil kalaalah…dst.” Berdasarkan ayat tersebut seorang saudari sekandung atau sebapak mendapatkan 1/2, jika ada dua maka mendapatkan 2/3 (yakni ketika tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung atau sebapak).
Namun seorang saudari sekandung jika bersama seorang saudari sebapak atau beberapa orang saudari sebapak mengambil 1/2, sedangkan sisanya dari 2/3 yaitu 1/6 untuk seorang saudari atau beberapa orang saudari sebapak menyempurnakan 2/3. Contoh: seorang wafat meninggalkan saudari sekandung, saudari seayah dan paman sekandung, maka saudari sekandung mendapatkan ½, saudari seayah mendapatkan 1/6 menyempurnakan 2/3 dan sisanya untuk paman.
Saudari kandung mewarisi sebagai ‘ashabah ma’al ghair apabila si mati meninggalkan wanita yang termasuk far’ (anak, cucu, dst. ke bawah) yang mendapatkan warisan sebagai as-habul furuudh, sehingga saudari kandung menduduki saudara sekandung. Contoh saudari kandung mewarisi sebagai ‘ashabah ma’al ghair adalah seorang wafat meninggalkan puterinya, puteri anaknya yang laki-laki, saudari sekandung dan saudara seayah, maka untuk puteri adalah ½, untuk puteri dari anaknya yang laki-laki adalah 1/6 untuk menyempurnakan 2/3, saudari kandung mendapatkan sisanya, sedangkan saudara seayah tidak mendapatkan apa-apa.
Jika beberapa orang-orang saudari sekandung menghabiskan 2/3, maka saudari-saudari sebapak gugur (tidak mendapatkan apa-apa) kecuali jika bersama mereka saudara sebapak yang berada sama dengan derajat mereka, maka mereka di’ashabahkan, sehingga sisanya untuk laki-laki dua orang bagian perempuan. Contoh: si mati meninggalkan dua orang saudari sekandung, saudari-saudari seayah dan seorang saudara seayah, maka dua orang saudari sekandung itu mendapat 2/3, dan sisanya dibagi antara saudara-saudara perempuan seayah dan saudara laki-laki seayah dengan pembagian bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Jika beberapa orang saudara itu terdiri dari laki-laki dan perempuan (yakni jika bersama saudari kandung ada saudara laki-laki sekandung), maka saudari kandung menempati posisi ‘ashabah bil ghair, sehingga bagiannya adalah seorang saudara laki-laki adalah dua bagian perempuan. Wallahu a’lam bish shawab.
Kesimpulan
Kesimpulan As-habul Furuudh
As-habul Furuudh dari pihak laki-laki | |||
No. | Nama As-habul Furuudh | Fardh | Syarat |
1. | Ayah | 1/6 | Jika bersama far’/keturunan yang laki-laki (anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki) |
1/6 dan ‘ashabah | Jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki | ||
‘Ashabah | Jika tidak ada far’/keturunan laki-laki atau perempuan (anak/cucu dari anak laki-laki) | ||
2. | Suami | ¼ | Jika bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan. Jika far’nya bukan termasuk ahli waris seperti puteri dari puteri, maka ia tidaklah mengurangi bagian suami atau isteri. |
½ | Jika tidak ada anak atau cucu, baik laki-laki maupun perempuan, baik dari dirinya maupun suami lain | ||
3. | Kakek shahih (ayahnya ayah dst. ke atas) | 1/6 | Jika ada anak/cucu laki-laki |
1/6 + sisa | Jika ada seorang anak perempuan/cucu perempuan, dan tidak ada anak/cucu laki-laki | ||
‘Ashabah | Jika tidak ada ayah dan keturunan (anak/cucu) | ||
Tertutup | Jika ada ayah | ||
4. | Bagian saudara seibu (lain bapak) | 1/6 | Jika sendiri, dan tidak ada anak/cucu/ayah/kakek |
1/3 | Jika dua orang atau lebih, dan tidak ada anak/cucu/ayah/kakek | ||
Tertutup (mahjub) | Jika ada anak/cucu/ayah/kakek |
As-habul Furuudh dari pihak perempuan | |||
No. | Nama As-habul furuudh | Fardh | Syarat |
1. | Isteri Jika isteri lebih dari satu, maka mereka membagi rata dari 1/4 atau 1/8.] | 1/4 | Jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki, baik dari dirinya maupun isteri lain |
1/8 | Jika bersama anak atau cucu dari anak laki-laki | ||
2. | Ibu | 1/3 | Jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki dan sejumlah (lebih dari satu) orang saudara |
1/6 | – Jika bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, atau – Sejumlah (lebih dari satu) saudara, baik pria maupun wanita Baik mereka laki-laki saja, atau laki-laki bersama wanita atau wanita saja, juga sama saja baik sekandung, seayah atau seibu.] | ||
1/3 dari sisa harta peninggalan | Jika bersama ayah dan suami atau isteri | ||
3. | Nenek | 1/6 (baik sendiri maupun banyak) | Jika tidak ada ibu. |
Tetutup | Jika ada ibu atau nenek yang lebih dekat kepada si mati. | ||
4. | Anak perempuan | 1/2 | Jika seorang diri dan tidak ada anak laki-laki |
2/3 | Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki | ||
‘Ashabah | Jika bersama anak laki-laki, yakni bagian seorang laki-laki dua bagian wanita | ||
5. | Cucu perempuan dari anak laki-laki | 1/2 | Jika seorang diri dan tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan |
2/3 (dibagi rata) | Jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak/cucu laki-laki | ||
1/6 | Jika bersama seorang anak perempuan (tidak meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki) menyempurnakan 2/3 | ||
‘Ashabah | Jika bersama dengan cucu laki-laki | ||
Tertutup | – Jika ada anak laki-laki, – Jika ada dua puteri atau lebih, kecuali jika bersama mereka ada cucu laki-laki dari anak laki-laki yang sederajat atau di bawah mereka sehingga mereka menjadi ‘ashabah | ||
6. | Saudari kandung | 1/2 | Jika seorang diri dan tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung |
2/3 | Jika 2 orang atau lebih dan tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung | ||
‘Ashabah bil ghair | Jika bersama saudara laki-laki sekandung dan tidak ada orang-orang di atas, bagian seorang laki-laki adalah dua bagian perempuan. | ||
‘Ashabah ma’al ghair | Jika bersama anak perempuan/cucu perempuan dari anak laki-laki, ia mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh | ||
Tertutup | Ketika ada ahli waris far’ yang laki-laki seperti anak/cucu dan ketika ada ahli waris ushul seperti bapak, adapun oleh kakek masih ada khilaf | ||
7. | Saudari seayah | 1/2 | Jika sendiri dan tidak ada anak atau cucu, saudara sebapak, saudari sekandung dan ayah/kakek. |
2/3 | Jika ada 2 orang atau lebih dan tidak ada anak atau cucu, saudara dan ayah/kakek. | ||
1/6 | Jika bersama-sama dengan seorang saudari kandung, tanpa saudara laki-laki. | ||
‘Ashabah bighairih | Jika ada saudara laki-laki sebapak, seorang laki-laki mendapatkan dua bagian perempuan. | ||
‘Ashabah ma’a ghairih | Jika bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan, ia mengambil sisanya setelah anak perempuan atau cucu perempuan mengambil bagian sebagai as-habul furudh. | ||
8. | Saudari seibu (lain bapak) | 1/6 | Jika sendiri, dan tidak ada anak/cucu/ayah/kakek |
1/3 | Jika dua orang atau lebih, dan tidak ada anak/cucu/ayah/kakek | ||
Tetutup | Jika ada anak/cucu/ayah/kakek |
Jika ada pertanyaan, “Apakah hukum warisan pembunuh, budak, orang yang berbeda agama, muba’adh (budak yang separuh dirinya merdeka), khunta (banci), kakek bersama saudara-saudara bukan seibu, ‘aul, radd, dzawul arham, ‘ashabah lainnya, saudari-saudari tidak seibu beserta anak perempuan atau puteri dari anak laki-laki bisa diambil dari Al Qur’an?” Jawab: “Ya, di dalam Al Qur’an terdapat isyarat yang halus yang memang agak sulit dipahami bagi orang yang kurang cermat. Tetapi di sana ada yang menunjukkan demikian.
– Tentang pembunuh dan orang yang berlainan agama, keduanya tidak mendapatkan warisan berdasarkan penjelasan hikmah ilahi yang membagikan harta kepada ahli waris sesuai kedekatan mereka dan manfaat bagi mereka baik manfaat agama maupun dunia. Hikmah ini diisyaratkan oleh firman Allah, “Laa tadruuna ayyuhum aqrabu lakum naf’aa” (kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu). Kita mengetaui bahwa seorang pembunuh berusaha menimpakan bahaya, sehingga tidak ada dalam dirinya sesuatu yang mendorong untuk diberi warisan, di samping itu, dalam pembunuhan memutuskan tali silaturrahim, dan lagi ada kaidah “Manis ta’jala qabla awaanihi ‘uuqiba bihirmaanih” (Barang siapa yang terburu-buru sebelum tiba waktunya, maka ia diberi hukuman dengan tidak memperolehnya). Adapun tentang berlainan agama, Ibnul Qayyim berkata dalam Jalaa’ul Afhaam, “Perhatikanlah makna ini dalam ayat tentang warisan dan pengkaitan dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala terhadap waris-mewarisi dengan lafaz zaujah (istri), tidak dengan lafaz mar’ah (wanita) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, “Wa lakum nishfu maa taraka azwaajukum” (untuk kamu separuh dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu) sebagai pemberitahuan bahwa waris-mewarisi hanyalah terjadi jika terjalin hubungan pernikahan yang menghendaki kesamaan dan keserasian. Orang mukmin dan orang kafir tidaklah sama dan tidak serasi, sehingga tidak mungkin terjadi antara keduanya saling waris-mewarisi. Rahasia satuan kata dalam Al Qur’an dan gabungannya dengan kata yang lain memang berada di atas akal seluruh makhluk.”
– Adapun budak, maka ia tidaklah mewarisi dan tidak pula diwarisi. Keadaannya tidak diwarisi adalah jelas, karena memang ia tidak memiliki harta untuk diwarisi, bahkan apa yang ada padanya semuanya untuk tuannya. Adapun keadaannya tidak mewarisi adalah karena ia tidak memiliki, kalau pun memiliki, maka itu untuk tuannya. Dengan demikian, budak adalah orang ajnabiy (asing) bagi si mati. Ayat “Wa lakum nishfu maa taraka azwaajukum” (dan untuk kamu separuh dari hharta yang ditinggalkan istrimu) diperuntukkan bagi orang yang siap memiliki, adapun budak tidak demikian. Dari sini diketahui, bahwa budak tidak mewarisi.
– Adapun orang yang dalam dirinya terdapat separuh budak dan separuh merdeka (muba’adh), maka hukumnya terbagi dua. Bagian dirinya yang merdeka berhak mendapatkan warisan, sedangkan bagiannya yang masih budak, tidak mendapatkan warisan. Dengan demikian, hartanya dibagi dua, ia mewarisi dan diwarisi, namun dihalangi sesuai kebudakan yang ada dalam dirinya.
– Adapun khuntsa (banci), maka tidak lepas dari kemungkinan diketahui apakah ia laki-laki atau wanita atau kemungkinan musykjil (samar). Jika diketahui laki-laki atau perempuan, maka masalahnya beres, namun jika musykil (misalnya memiliki kelamin ganda), maka jika bagian warisannya tidak berubah baik ia sebagai laki-laki atau perempuan –seperti halnya saudara seibu-, maka masalahnya jelas. Namun jika bagiannya berbeda jika ditentukan sebagai laki-laki atau perempuan, di antara ulama ada yang berpendapat dengan memperhatikan dari mana air kencingnya keluar. Jika tidak bisa, maka dengan memperhatikan tanda kedewasaannya (tanda bagi laki-laki misalnya tumbuh janggut dan kumis, suara besar dsb. sedangkan tanda bagi perempuan misalnya tumbuh buah dada, haidh, hamil, dsb.), namun jika tidak berhasil juga dan tidak ada cara untuk mengetahuinya, maka kita tidak memberikannya bagian yang terbesar dari dua kemungkinan (laki-laki atau perempuan) dan tidak memberikan sedikit, bahkan sisanya ditunda sampai keadaannya jelas. Atau jika terus menerus tidak jelas, maka dengan jalan tengah, yakni memberikan bagian pertengahan di antara dua kemungkinan, berdasarkan ayat, “I’diluu huwa aqrabu lit taqwa” (berbuat adillah, karena ia lebih dekat kepada takwa), dan Allah tidak membebani kecuali sesuai dengan kesanggupan kita.
– Adapun bagian kakek bersama bersama beberapa saudara sekandung atau sebapak, yakni apakah saudara tersebut mewarisi bersamanya atau tidak, maka Al Qur’an lebih menunjukkan kepada pendapat Abu Bakar Ash Shiddiq, yakni bahwa kakek menghalangi saudara sekandung atau sebapak atau pun saudara seibu sebagaimana bapak menghalangi mereka. Hal ini, karena kakek dianggap sebagai bapak dalam beberapa ayat Al Qur’an, seperti di surat Al Baqarah: 133 dan surat Yusuf ayat 38. Jika cucu saja dianggap sebagai anak, maka kakek pun sama dianggap bapak. Para ulama juga sepakat bahwa jika kakek bagi bapak bersama putera dari saudara, maka kakek menghalangi putera dari saudara tersebut.
– Adapun tentang ‘aul, maka hukumnya juga diambil dari Al Qur’an, yaitu karena Allah Ta’ala juga menetapkan untuk para ahli waris bagiannya, dan mereka itu berada di antara dua kemungkinan:
a. Bisa berupa saling menghalangi antara satu dengan yang lain. Jika seperti ini, maka yang dihalangi gugur, tidak dapat mendesak dan memperoleh apa-apa.
b. Namun jika tidak menghalangi satu sama lain, maka bisa berupa orang-orang yang mendapat bagian tertentu tidak menghabisi tarikah (harta peninggalan) dan masih ada sisa untuk ‘ashabah, atau menghabisi tanpa ditambah dan dikurang atau bagiannya dinaikkan terhadap tarikah. Dalam dua keadaan yang pertama, masing-masing mengambil jatahnya secara sempurna, sedangkan untuk keadaan yang terakhir, yakni ketika bagiannya terhadap tarikah dinaikkan, maka keadaan ini pun tidak lepas dari dua keadaan:
– Kita mengurangi bagian sebagian ahli waris dan kita sempurnakan yang lain bagiannya, namun hal ini tidak tepat, karena sebagian mereka tidak lebih berhak daripada yang lain. Atau,
– Kita berikan bagian masing-masing semampunya, yaitu menaikkan bagian atau fardhnya.
Contoh: harta peninggalan si mati senilai 840.000,00, ahli waris terdiri dari suami, saudari kandung dan saudari seibu, maka:
Ahli waris |
Fardh |
AM = 6 (KPK dari 2,2 & 6) |
Suami |
½ x 6 |
3 |
Saudari kandung |
½ x 6 |
3 |
Saudari seibu |
1/6 x 6 |
1 |
Anda dapat melihat jumlah 3 + 3 + 1 = 7 melebihi asal masalah, maka cara pembagiannya tidak 3/6, 3/6 dan 1/6, tetapi menjadi 3/7, 3/7 dan 1/7. dengan ini selesailah masalahnya:
3/7 x 84.000 = 36.000
3/7 x 84.000 = 36.000
1/7 x 84.000 = 12.000
Lihat! 36.000 + 36.000 + 12.000 = 84.000
Habis bukan harta tersebut dan dapat dibagi secara adil. Inilah yang disebut dengan ‘Aul. Jika tidak di’aul tentu masih ada sisa.
Kebalikan dari ‘aul adalah radd, yakni ketika orang yang mendapat bagian tertentu tidak menghabisi tarikah, dan masih ada sisa, di samping itu tidak ada ‘ashabah yang dekat maupun jauh. Jika sisa tersebut diberikan kepada yang bukan kerabat si mati, maka hal tersebut merupakan kezaliman serta bertentang dengan ayat “Wa ulul arhaami ba’dhuhum awlaa biba’dhin fii kitaabillah” (surat Al Anfal: 75), maka tidak ada jalan lain selain mengembalikan kepada pemilik bagian (as-habul furudh). Kebanyakan ulama yang memegang radd berpendapat bahwa suami atau istri tidak berhak mendapatkan radd, namun yang lain berpendapat bahwa suami atau istri juga berhak mendapatkan radd.
Contoh radd:
Contoh: Harta peninggalan Rp. 36.000,00 , ahli waris: saudari sekandung, saudari seayah dan ibu. Maka:
Ahli waris |
Fardh |
AM = 6 menjadi 5 |
Dari 36.000,00 |
Saudari kandung |
½ |
3/5 x 36.000 |
21.600 |
Saudari seayah |
1/6 |
1/5 x 36.000 |
7.200 |
Ibu |
1/6 |
1/5 x 36.000 |
7.200 |
Menjadi 5, karena jumlah 3 + 1 + 1 = 5.
– Dari sini diketahui pula masalah Dzawul arham, yakni ketika si mati tidak meninggalkan as-habul furudh, demikian pula tidak meninggalkan ‘ashabah, maka harta itu bisa diserahkan kepada Baitul Maal untuk manfaat orang lain atau diberikan kepada kerabat yang disebut dzawul arham. Hal ini berdasarkan ayat, “Wa ulul arhaam ba’dhuhum awlaa biba’dhin…dst.” Oleh karenanya memberikan kepada orang lain padahal masih ada yang lebih dekat kepada si mati (yaitu Dzawul arham) sama saja memberikan kepada orang yang kurang berhak. Karena pembagian mereka tidak ada ketentuannya dalam kitab Allah, namun antara mereka dengan si mati ada perantara yang karenanya mereka tergolong kerabat, maka diposisikanlah mereka sesuai perantara yang menjadi perantara kepada si mati, inilah yang disebut dengan tanzil. Misalnya bibi dari pihak ayah dianggap sebagai pengganti ayah. Ia mewarisi sesuai bagian yang didapatkan ayah. Demikian pula bibi dari pihak ibu, ia mewarisi bagian ibu, dan diperlakukan layaknya ibu dalam warisan.
– Adapun tentang warisan ‘ashabah, seperti bunuwwah (anak), ubuwwah (bapak), ukhuwwah (saudara dan anak-anaknya) dan umumah (paman dan anak-anaknya), maka hal ini ditunjukkan oleh hadits “Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang lebih dekat.” Sehingga jika ada sisa, maka diberikan kepada mereka sesuai urutan tersebut, dan yang terakhir setelah paman dan anak-anaknya jika tidak ada, maka yang mewarisinya adalah yang memerdekakan atau disebut wala’. Jika ‘ashabah tersebut dalam posisi yang sama, maka didahulukan yang lebih kuat, misalnya saudara sekandung dengan saudara seayah, maka saudara sekandung lebih didahulukan daripada saudara seayah. Jika sama kuatnya, maka mereka mengambil secara bersama-sama.
– Adapun tentang beberapa saudari tidak seibu (yakni saudari sekandung atau sebapak) bersama dengan beberapa orang anak perempuan atau beberapa orang puteri dari anak laki-laki sebagai ‘ashabah ma’a gharih yang mengambil sisanya, maka karena di dalam Al Qur’an tidak ada ayat yang menunjukkan bahwa saudari-saudari tersebut gugur karena puteri. Dengan demikian, setelah anak perempuan mengambil bagiannya, maka sisanya diberikan kepada para saudari, tidak kepada ‘ashabah yang lebih jauh yaitu anak dari saudara laki-laki dan paman atau ‘ashabah lainnya lebih jauh, wallahu a’lam.
[18] Yakni yang kurang dari 1/3. Wasiat ini diperuntukkan kepada selain ahli waris, adapun selain itu maka tidak diberlakukan kecuali dengan izin ahli waris.
[19] Menyusahkan ahli waris ialah melakukan tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Meskpun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat An Nisa', Ahli Waris, Pembagian Harta Warisan, Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.
0 komentar
Posting Komentar