Tafsir Al Quran Surat Al Maidah Ayat Ke: 1, 2, 3, 4, Dan 5.
Surah ke-5 dengan jumlah ayat 120. Termasuk kedalam golongan surat Madaniyyah.
Menerangkan tentang perintah untuk memenuhi janji, menyempurnakannya, melengkapinya, tidak membatalkan dan tidak mengurangi, mencakup akad (perjanjian) yang dilakukan antara seorang hamba dengan Tuhannya berupa mengerjakan ibadah kepada-Nya, mengerjakannya secara sempurna, tidak mengurangi di antara hak-hak itu, termasuk juga akad mu’amalah, atau memenuhi hak kaum muslimin. Penyebutan jenis hewan ternak yang halal, pengertian binatang had-yu dan qalaa-id.
Diterangkan juga keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, makanan-makanan halal yang menyehatkan. Lalu penjelasan tentang fasik. hukum makanan dan sembelihan dari Ahli Kitab, menikah dengannya, dan menerangkan tentang tata cara dalam berinteraksi sosial dengan para Ahli Kitab.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat 1-2: Keharusan memenui janji atau ‘akad baik antara seseorang dengan Allah Subhaanahu wa Ta’aala, atau antara seseorang dengan hamba-hamba Allah. Demikian pula keharusan saling tolong-menolong di atas kebaikan dan takwa
1. Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji[1]. Hewan ternak[2] dihalalkan bagimu[3], kecuali yang akan disebutkan kepadamu[4], dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum[5] sesuai yang Dia kehendaki[6].
2. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar kesucian Allah[7], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[8], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-yu[9], dan binatang-binatang qalaa-id[10], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia[11] dan keridhaan Tuhannya[12]. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya[13].
Ayat 3-4: Menerangkan hukum-hukum yang terkait dengan binatang buruan, sembelihan dan makanan, demikian pula menerangkan tentang nikmat Allah Subhaanahu wa Ta’aala dalam menyempurnakan agama serta menyempurnakan karunia-Nya kepada kaum mukmin
3.[14] Diharamkan bagimu (memakan) bangkai[15], darah[16], daging babi[17], dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh (dari tempat tinggi), yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih[18]. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah)[19], (karena) itu suatu perbuatan fasik[20]. Pada hari ini[21] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu[22], sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu[23], dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku[24] bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa terpaksa[25] karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa[26], maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
4. Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Yang dihalalkan bagimu adalah (makanan) yang baik-baik[27] dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu[28], yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu[29]. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu[30], dan sebutlah nama Allah waktu melepaskannya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.
Ayat 5: Menerangkan tentang hukum makanan dan sembelihan Ahli Kitab, menikah dengan mereka, demikian pula menerangkan kelapangan Islam dalam bermu’amalah dengan Ahli Kitab
5.[31] Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab[32] itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan[33] di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu[34], apabila kamu membayar mas kawin mereka untuk menikahinya[35], tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan[36]. Barang siapa yang kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amalan mereka dan di hari kiamat dia termasuk orang-orang yang rugi[37].
[1] Aqad (perjanjian) mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Syaikh As Sa’diy berkata, “Ini merupakan merupakan perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk mengerjakan konsekwensi daripada iman, yaitu memenuhi janji, yakni menyempurnakannya, melengkapinya, tidak membatalkan dan tidak mengurangi. Hal ini mencakup akad (perjanjian) yang dilakukan antara seorang hamba dengan Tuhannya berupa mengerjakan ibadah kepada-Nya, mengerjakannya secara sempurna, tidak mengurangi di antara hak-hak itu. Demikian juga mencakup antara seseorang dengan rasul-Nya, yaitu dengan menaatinya dan mengikutinya, mencakup pula antara seseorang dengan kedua orang tuanya dan kerabatnya, yakni dengan berbakti kepada mereka dan menyambung tali silaturrahim dengan mereka dan tidak memutuskannya. Demikian pula akad antara seseorang dengan kawan-kawannya berupa mengerjakan hak-hak persahabatan di saat kaya dan miskin, lapang dan sempit. Termasuk pula akad antara seseorang dengan yang lain dalam akad mu’amalah, seperti jual beli, menyewa, dsb. Termasuk pula akad tabarru’at (kerelaan), seperti hibah dsb. bahkan termasuk pula memenuhi hak kaum muslimin yang telah Allah akadkan hak itu di antara mereka dalam firman-Nya, “Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara.” (Terj. Al Hujurat: 10) dengan cara saling tolong-menolong di atas kebenaran, membantunya, saling bersikap lembut dan tidak memutuskan hubungan.”
Berdasarkan ayat ini pula bahwa hukum asal dalam akad dan syarat adalah mubah, dan bahwa hal itu dipandang sah dengan perkataan atau perbuatan yang menunjukkan demikian karena kemutlakannya.
[2] Seperti unta, sapi dan kambing. Bahkan bisa masuk juga ke dalamnya hewan liar dari binatang-binatang tersebut, kijang, keledai liar (bukan keledai negeri) dan binatang-binatang buruan. Sebagian sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum ada yang berdalil dengan ayat ini untuk membolehkan janin yang mati dalam perut induknya, setelah induknya disembelih.
[3] Yakni karena kamu, sebagai rahmat dari-Nya.
[4] Seperti yang akan disebutkan dalam ayat 3 surat Al Maa’idah.
[5] Seperti halal dan haram.
[6] Tanpa ada yang menentangnya.
[7] Syi’ar Allah adalah segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadah haji dan tempat-tempat mengerjakannya. Syi’ar bisa juga diartikan rambu-rambu agamanya. Ada pula yang mengartikan syi’ar-syi’ar di sini dengan “larangan-larangan-Nya”, yakni jangan dilanggar. Melanggar syi’ar-syi’ar kesucian Allah misalnya mengerjakan larangan ihram, seperti berburu sewaktu ihram, demikian juga mengerjakan larangan-larangan di tanah haram.
[8] Maksudnya antara lain bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan Ihram, yakni dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan itu. Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan berperang di bulan haram sudah mansukh (dihapus) berdasarkan ayat 5 surat At Taubah, demikian juga berdasarkan ayat-ayat yang umum yang memerintahkan memerangi orang-orang kafir secara mutlak, di samping itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerangi penduduk Tha’if di bulan Dzulqa’dah; salah satu bulan haram. Sedangkan ulama yang lain berpendapat, bahwa larangan berperang di bulan-bulan haram tidaklah mansukh berdasarkan ayat ini dan ayat yang lain, mereka mena’wil yang mutlaknya kepada yang muqayyad. Mereka juga merincikan, “Tidak boleh memulai peperangan di bulan haram, adapun melanjutkan dan menyelesaikannya jika mulainya terjadi di bulan lain, maka boleh”, mereka juga mena’wil peperangan yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap penduduk Tha’if, bahwa peperangan tersebut di Hunain mulainya pada bulan Syawwal. Ini semua jika bukan peperangan daf’ (pembelaan diri), namun jika peperangan daf’, yakni orang-orang kafir yang memulainya, maka dibolehkan bagi kaum muslimin membalasnya, baik di bulan haram maupun lainnya berdasarkan ijma’ para ulama.
[9] Yaitu binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka’bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadah haji. Kita tidak boleh mengganggunya, termasuk pula menghalangi dari sampai ke tempatnya, mencurinya dsb.
[10] Yaitu binatang had-yu yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu untuk dibawa ke Ka’bah.
[11] Yang dimaksud dengan karunia adalah keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan.
[12] Dengan haji, umrah, thawaf, shalat dan ibadah lainnya. Yakni jangan menyakitinya, menghinanya, bahkan muliakanlah dan hormatilah orang-orang yang berkunjung ke rumah-Nya. Termasuk ke dalam hal ini adalah mengamankan jalan menuju Baitullah, membuat tenang orang-orang yang pergi berkunjung ke Baitullah dan membuat mereka bisa beristirahat, tanpa ada rasa takut dibunuh, dijambret hartanya dan dibajak. Namun demikian, ayat ini ditakhshis dengan firman Allah Ta’ala di surat At Taubah ayat 28, yang di sana disebutkan bahwa orang-orang musyrik tidak boleh masuk ke tanah haram. Larangan mengganggu ini jika ia menuju baitullah dengan maksud mencari karunia (rezeki) Allah dan keridhaan-Nya, namun jika maksudnya melakukan kejahatan, maka termasuk menghormati tanah haram adalah menghalanginya dari melakukan kejahatan.
[13] Bagi orang yang bermaksiat kepada-Nya dan berani mengerjakan yang diharamkan-Nya. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap yang diharamkan agar kamu tidak mendapatkan siksaan-Nya cepat atau lambat.
[14] Perlu diketahui, bahwa Allah tidaklah mengharamkan sesuatu kecuali untuk menjaga dan memelihara hamba-hamba-Nya dari bahaya yang ada dalam sesuatu yang haram itu, terkadang Allah menerangkan bahayanya dan terkadang tidak.
[15] Bangkai adalah binatang yang mati tanpa melalui penyembelihan secara syar’i. Hal ini diharamkan karena bahaya yang ada di dalamnya, yaitu ketika darah tertahan dalam tubuhnya yang menyebabkan kuman-kuman hidup subur di sana dan karena pada umumnya matinya binatang tersebut diakibatkan oleh penyakit, yang jika dikonsumsi dapat membahayakan kesehatan. Namun dikecualikan daripadanya adalah bangkai ikan dan belalang, maka hukumnya halal.
[16] Yakni darah yang mengalir, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’aam ayat 145.
[17] Hal ini mencakup semua anggota badannya. Disebutkan “daging babi” padahal ada binatang kotor lainnya yang terdiri dari binatang buas bertaring, karena Ahli Kitab menyangka bahwa daging babi dihalalkan bagi mereka, maka Allah membantahnya, dan bahwa daging babi termasuk binatang kotor.
[18] Maksudnya adalah binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal jika sempat disembelih sebelum mati. Jika tidak sempat disembelih, maka tergolong bangkai.
[19] Al Azlaam artinya anak panah yang belum memakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum memakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya adalah mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu, dan ditulis masing-masingnya dengan, “Lakukanlah”, “Jangan lakukan”, sedangkan yang ketiga tidak ditulis apa-apa, kemudian diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka’bah. Apabila mereka hendak melakukan sesuatu, maka mereka meminta supaya juru kunci ka’bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulang sekali lagi. Dalam ayat ini Allah mengharamkan perbuatan itu dan perbuatan yang semisal dengannya, serta menggantinya dengan syari’at shalat istikharah (meminta pilihan kepada Allah) dalam semua urusan mereka.
[20] Fasik artinya keluar dari ketaatan kepada Allah beralih kepada ketaatan kepada setan.
[21] Yang dimaksud dengan hari ini adalah hari ‘Arafah pada saat haji wada’ (tahun ke-10 H), haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu orang musyrik tidak melakukan haji dan tidak berthawaf di Baitullah dengan telanjang.
[22] Atau membuat kamu murtad.
[23] Yakni dengan menyempurnakan syari’at, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, baik terkait dengan masalah ushul (dasar-dasar agama) maupun masalah furu’ (cabang). Oleh karena itu, Al Qur’an dan As Sunnah memberikan kecukupan kepada kita dalam semua hukum-hukum agama, baik ushul maupun furu’, karenanya barang siapa yang menyangka bahwa untuk mengetahui akidah dan hukum butuh mempelajari ilmu kalam, maka dia jahil dan dakwaannya batil.
[24] Baik dengan disempurnakan agama maupun dengan masuk ke Mekah dalam keadaan aman.
[25] Yani terpaksa memakan makanan yang diharamkan.
[26] Ada yang mengartikan “bukan karena ingin berbuat dosa” di sini dengan bukan orang yang cenderung berbuat dosa, seperti qaathi’uth thariq (pembajak) dan pemberontak, oleh karenanya mereka ini meskipun darurat tetap tidak halal memakan yang haram, ada pula yang mengartikan “bukan karena ingin berbuat dosa” dengan tidak memakan yang haram kecuali dalam kondisi darurat dan tidak memakannya melebihi kecukupan saat dalam kondisi darurat.
[27] Yakni makanan yang di dalamnya mengandung manfaat dan lezat, tanpa ada bahaya bagi badan maupun akal. Mafhum ayat ini menunjukkan haramnya makanan kotor menjijikan sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain (lih. Al A’raaf: 157).
[28] Ayat ini menunjukkan beberapa hal, di antaranya:
– Kelembutan Allah dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya, Dia membuka lebar kepada mereka jalur-jalur yang halal. Dia menghalalkan kepada mereka makanan yang tidak mereka sembelih, yang diburu oleh binatang-binatang pemburu, seperti anjing, binatang buas atau burung yang buas.
– Disyaratkan binatang pemburu tersebut harus terlatih yang menurut ‘uruf (adat kebiasaan) sudah terlatih. Tanda sudah terlatih adalah disuruh mengejar buruan, ia mau mengejar, disuruh berhenti, ia menahan diri dan jika disuruh menahan buruan tidak memakannya, binatang buruan itu mau dan tidak memakannya. Jika binatang itu memakannya, maka tidak halal dimakan.
– Demikian pula disyaratkan, bahwa binatang yang diburu dilukai oleh binatang buruannya berdasarkan kata-kata “jawaarih” (artinya yang melukai). Oleh karena itu, jika binatang buruannya mencekiknya atau membunuhnya dengan membebaninya, lalu buruannya mati, maka buruan itu haram dimakan. Hanyasaja yang masyhur arti jawarih adalah kawaasib, yakni binatang yang dapat menghasilkan buruan, sehingga syarat ini tidak tepat.
– Disyaratkan menyebut nama Allah ketika melepas binatang buruan (lihat lanjutan ayatnya), dan bahwa jika pemiliknya tidak menyebut nama Allah dengan sengaja, maka haramlah binatang hasil buruan yang dimatikan oleh binatang buruannya.
– Bolehnya memiliki anjing buruan, namun jika tidak untuk ini maka haram.
– Sucinya bagian binatang yang diburu, yang disentuh oleh mulut anjing buruan, karena Allah tidak menyuruh untuk mencucinya.
– Keutamaan ilmu, karena binatang yang sudah dilatih (memiliki ilmu) buruan yang dilakukannya menjadi halal, berbeda jika binatang itu tidak terlatih (tidak memiliki ilmu), di mana hasil buruannya haram.
– Menyibukkan diri dengan melatih anjing atau binatang buas lainnya untuk berburu bukanlah perkara tercela, karena ada maksud dan tujuannya, yaitu agar binatang hasil buruannya halal dan dapat dimanfaatkan.
– Di dalam ayat ini terdapat hujjah bagi orang yang berpendapat bolehnya menjual anjing buruan, karena biasanya untuk memilikinya hanya dengan cara seperti itu.
– Boleh memakan hasil buruannya, hidup atau mati, hanya saja jika masih hidup, maka belum halal kecuali dengan menyembelihnya.
[29] Maksudnya binatang buas itu dilatih menurut kepandaian yang diperolehnya dari pengalaman; pikiran manusia dan ilham dari Allah tentang melatih binatang buas dan cara berburu.
[30] Yaitu buruan yang ditangkap binatang buas terlatih yang semata-mata untukmu dan tidak dimakan sedikitpun olehnya. Adapun jika dimakan, maka hal itu menunjukkan tidak diketahui apakah binatang itu diterkamnya untuk pemiliknya atau untuk dirinya. Hal ini termasuk syarat bolehnya memakan binatang buruannya.
[31] Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan beberapa kali tentang halalnya yang baik-baik untuk menerangkan nikmat-Nya, mengajak hamba mensyukurinya dan banyak menyebut nama-Nya, karena Dia telah menghalalkan kepada mereka semua yang dibutuhkan dan mereka dapat memanfaatkannya.
[32] Yakni Yahudi dan Nasrani, tidak orang-orang kafir yang lain. Hal itu karena Ahli Kitab masih menyandarkan diri kepada nabi dan kitab. Para rasul semuanya sepakat haramnya menyembelih untuk selain Allah, karena yang demikian adalah syirk, dan orang-orang Yahudi serta Nasrani beragama dengan meyakini haramnya menyembelih kepada selain Allah.
Faedah:
Syaikh M. bin Shalih Al ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hukum daging ayam impor, ia menjawab, “Ayam impor dari negara asing, yakni non Islam, jika yang menyembelihnya adalah Ahli Kitab, yaitu Yahudi atau Nasrani maka boleh dimakan dan tidak sepantasnya dipertanyakan bagaimana cara penyembelihannya atau apakah disembelih atas nama Allah atau tidak? Yang demikian itu karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakan daging domba yang dihadiahkan oleh seorang perempuan yahudi kepadanya di Khaibar, dan beliau juga memakan makanan ketika beliau diundang oleh seorang yahudi, yang di dalam makan itu ada sepotong gajih dan beliau tidak menanyakan bagaimana mereka menyembelihnya atau apakah disembelih dengan menyebut nama Allah atau tidak? ……….”
Ia juga mengatakan, “Adapun kalau hewan potong itu datang dari negara asing dan orang yang melakukan penyembelihannya adalah orang yang tidak halal sembelihannya, seperti orang-orang majusi dan penyembah berhala serta orang-orang yang tidak menganut ajaran agama (atheis), maka ia tidak boleh dimakan, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membolehkan sembelihan selain kaum muslimin, kecuali orang-orang Ahli Kitab; yaitu Yahudi dan Nasrani. Apabila kita meragukan orang yang menyembelihnya, apakah berasal dari orang yang halal sembelihannya ataukah tidak, maka yang demikian itu tidak apa-apa.”
Para fuqaha (ahli fiqih) berkata, “Apabila anda menemukan sesembelihan dibuang di suatu tempat yang sembelihan mayoritas penduduknya halal, maka sembelihan itu halal.”
[33] Ada juga yang mengartikan wanita-wanita yang merdeka. Ayat ini juga menunjukkan bahwa wanita-wanita pezina yang tidak menjaga diri dari zina, maka tidak boleh menikahinya –baik mereka mereka muslimah atau Ahli Kitab– sampai jelas keadaannya (sudah bertobat atau belum), berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” (Terj. An Nuur: 3).
[34] Namun tidak termasuk wanita musyrik.
[35] Jika wanita itu tidak cerdas, maka suami menyerahkan mahar kepada walinya. Disandarkannya mahar kepada wanita itu terdapat dalil bahwa wanita yang memiliki semua maharnya, dan tidak ada hak bagi seorang pun terhadapnya, kecuali jika si wanita memberikan dengan kerelaan kepada suaminya, walinya atau lainnya.
[36] Di mana ia melakukan zina bersamanya secara bersembunyi.
[37] Jika dia meninggal di atas kekafiran sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 217.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat Al Maidah, Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.
0 komentar
Posting Komentar