Tafsir Al Qur'an Surat An Nisa Ayat Ke: 170, 172, 173, 174, 175, Dan 176.
Ayat ini menjelaskan tentang Rasul yang membawa kebenaran dan mengajak kepada manusia untuk beriman, faedah keimanan, penjelasan tetang Isa al Masih putra Maryam, larangan untuk melampaui batas atau mengangkat Nabi Isa melebihi kedudukannya sebagai hamba/menjadikannya sebagai Tuhan, cerita tentang penciptaan Nabi Isa. Lalu menjelaskan tentang kenikmatan surga bagi orang yang beriman dan beramal soleh, balasan bagi orang durhaka dan sombong. Kemudian berisi tentang fatwa dan penjelasan mengenai warisan Kalalah atau seseorang yang meninggal tapi sudah tidak mempunyai ayah atau kakek dan anak atau cucu.
Baca juga tafsir ayat sebelumnya.
Ayat 170: Ajakan kepada manusia untuk beriman kepada Al Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta peringatan terhadap kufur kepada keduanya
170.[1] Wahai manusia! Sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah (kepadanya), itu lebih baik bagimu[2]. Dan jika kamu kafir, (itu tidak merugikan Allah sedikit pun) karena sesungguhnya milik Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi. Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat 171-172: Pandangan Al Qur’an terhadap Nabi Isa ‘alaihis salam, penafian (peniadaan) ketuhanan Al Masih putera Maryam ‘alaihis salam, penjelasan tentang kafirnya orang-orang Nasrani, serta ghuluw (berlebihannya) mereka terhadap Al Masih karena keyakinan mereka bahwa ia adalah anak Allah Subhaanahu wa Ta’aala, atau salah satu dari yang tiga, Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. Demikian pula menerangkan tentang ‘aqidah trinitas yang batil
171. Wahai Ahli Kitab![3] Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu[4], dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar[5]. Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya[6] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya[7]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu)[8]. (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa[9], Mahasuci Allah dari (anggapan) mempunyai anak, Milik-Nyalah[10] apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Cukuplah Allah sebagai saksinya.
172. Al Masih sama sekali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah[11], dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah)[12]. Barang siapa yang enggan menyembah-Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.
Ayat 173-175: Ajakan kepada manusia agar masuk ke dalam Islam serta penjelasan tentang pahala yang akan diperoleh kaum mukmin, dan balasan untuk orang-orang yang durhaka lagi sombong
173. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan[13], Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya[14]. Sedangkan orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih. Dan mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah.
174. Wahai manusia! Sesungguhnya telah sampai kepadamu bukti kebenaran[15] dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran)[16].
175. Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah[17] dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya, maka Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat dan karunia dari-Nya (surga), dan menunjukkan mereka jalan yang lurus kepada-Nya[18].
Ayat 176: Masalah warisan kalalah
176.[19] Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[20]. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak[21] (dan ayah) tetapi mempunyai saudara perempuan[22], maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya[23], dan saudaranya yang laki-laki[24] mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak[25]. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang[26], maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan[27], maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha mengetahui segala sesuatu[28].
[1] Di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan semua manusia untuk beriman kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyebutkan sebab yang mengharuskan untuk beriman dan faedah beriman serta bahaya dari tidak beriman.
Sebab yang mengharuskan untuk beriman kepada Beliau adalah pemberitahuan-Nya bahwa Nabi-Nya datang kepada mereka dengan membawa kebenaran, yakni kedatangan Beliau adalah hak (benar) dan syari’at yang dibawanya juga hak. Hal itu, karena orang yang berakal mengetahui bahwa jika manusia tetap di atas kebodohan (masa jahiliyyah), berada dalam kekufuran dan lagi risalah telah putus, maka tidak sesuai dengan hikmah Allah dan rahmat-Nya jika mereka dibiarkan. Bahkan termasuk hikmah Allah dan rahmat-Nya diutus-Nya rasul kepada mereka untuk mengenalkan mana petunjuk dan mana yang sesat, mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Dengan memperhatikan risalah Beliau terdapat dalil yang pasti terhadap kebenaran Beliau. Demikian juga dengan memperhatikan syari’at yang dibawa Beliau, di dalamnya terdapat berita-berita ghaib; masa lalu maupun yang akan datang, yang hal itu tidak diketahui kecuali dengan perantaraan wahyu. Belum lagi dengan perintah yang ada di dalamnya, di mana isinya memerintahkan kepada semua kebaikan, kebenaran, keadilan, ihsan, kejujuran, berbakti kepada orang tua, menyambung silaturrahim, menunaikan amanah, menepati janji, berakhlak mulia dan melarang dari semua keburukan dan kerusakan, permusuhan dan kezaliman, akhlak buruk, dusta, durhaka kepada orang tua dan memutuskan tali silaturrahim. Ini semua membuat kita semakin yakin bahwa apa yang Beliau bawa benar-benar dari sisi Allah.
Adapun faedah dari keimanan, maka dalam ayat di atas disebutkan bahwa yang demikian lebih baik bagi kita. Baik di sini umum, baik untuk kebaikan badan kita, hati kita, ruh kita, dunia kita maupun akhirat kita. Hal itu karena di dalamnya mengandung banyak maslahat dan faedah. Adanya pahala di dunia dan di akhirat termasuk faedah dari keimanan, adanya pertolongan, petunjuk, ilmu, amal salih, kesenangan dan kebahagiaan, memperoleh surga dan kenikmatannya termasuk faedah dari keimanan. Sebagaimana kesengsaraan di dunia dan akhirat diakibatkan dari ketidakadaan iman atau kekurangannya. Adapun bahya dari tidak beriman, maka banyak sekali, di antaranya ia akan mendapatkan kebalikan dari apa yang didapatkannya jika beriman, dan lagi seseorang hamba jika tidak beriman tidaklah merugikan siapa pun selain dirinya sendiri, sedangkan Allah Maha Kaya, tidaklah merugikan-Nya maksiat orang-orang yang bermaksiat, bahkan kalau pun semua manusia kafir kepada Allah, maka hal itu tidaklah mengurangi kerajaan-Nya, milik Allah-lah semua yang ada di langit dan di bumi, Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapat hidayah dan siapa yang berhak mendapat kesesatan, Dia juga Maha bijaksana dalam menempatkan kepada siapa hidayah diberikan dan kepada siapa kesesatan ditimpakan.
[2] Daripada keadaanmu sekarang ini.
[3] Yakni orang-orang Nasrani.
[4] Maksudnya melewati batas atau ukuran yang disyari’atkan kepada yang tidak disyari’atkan. Misalnya mengangkat Nabi Isa ‘alaihis salam melebihi kedudukannya sebagai hamba, nabi dan rasul dengan menjadikannya sebagai tuhan. Demikian juga kita dilarang meremehkan nabi sebagaimana dilarang pula berlebihan atau melampaui batas terhadapnya.
[5] Dalam ayat ini terdapat larangan berdusta atas nama Allah, berkata tentang Allah tanpa ilmu baik terhadap nama-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya, syari’at-Nya dan para rasul-Nya, serta memerintahkan berkata yang hak dalam semua itu. Hal ini adalah kaidah umum, namun karena ayat ini membicarakan tentang Nabi Isa ‘alaihis salam, maka berkata yang hak terhadap Allah dfalam ayat ini adalah dengan menyucikan-Nya dari adanya sekutu, istri atau pun anak.
[6] Maksud kalimat yaitu kun (jadilah), sehingga Nabi Isa ‘alaihis salam diciptakan tanpa bapak.
[7] Yakni di antara roh-roh yang diciptakan-Nya. Disebut tiupan dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah. Disandarkan kepada-Nya adalah sebagai pemuliaan baginya sebagaimana pada kata “kalimatuhu” (kalimat-Nya).
[8] Dan beralihlah kepada Tauhid, yakni menyatakan Allah Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
[9] Yang satu-satunya berhak diibadati.
[10] Yakni makhluk-Nya, milik-Nya dan hamba-Nya.
[11] Nabi Isa ‘alaihis salam dan para malaikat senang menjadi hamba Allah dan beribadah kepada-Nya.
[12] Yaitu malaikat yang berada di sekitar Arsy seperti Jibril, Mikail, Israfil dan malaikat-malaikat yang setingkat dengan mereka.
[13] Yakni mereka yang menggabung antara iman yang diperintahkan dan amal salih, baik berupa amal wajib maupun sunat, dan baik terkait dengan hak Allah maupun terkait dengan hak hamba Allah.
[14] Termasuk di dalamnya kenikmatan apa saja yang ada di dalam surga, seperti makanan, minuman, pasangan, pemandangan, kegembiraan, kenikmatan hati maupun ruh dan kenikmatan badan, serta kenikmatan melihat wajah Allah. Bahkan termasuk pula semua kebaikan dalam beragama Islam dan kebaikan di dunia yang muncul dari iman dan amal salih.
[15] Bukti kebenaran ini mencakup di dalamnya dalil ‘aqli, dalil naqli, ayat-ayat yang ada di alam semesta dan pada diri manusia.
[16] Di dalamnya terkandung pengetahuan tentang generasi terdahulu dan generasi kemudian, berita-berita benar yang bermanfaat, perintah mengerjakan semua keadilan, ihsan dan kebaikan serta larangan terhadap kezaliman dan keburukan. Manusia berada dalam kegelapan tanpa cahaya Al Qur’an dan berada dalam kebinasaan jika tidak mengambil cahayanya.
[17] Kepada wujud-Nya dan sifat-sifat-Nya yang sempurna dan menyucikan-Nya dari segala ‘aib dan kekurangan.
[18] Allah akan memberi mereka taufiq kepada ilmu dan amal; yaitu mengetahui yang hak dan mengamalkannya. Sebaliknya, orang yang tidak beriman kepada Allah, dan tidak berpegang dengan agama-Nya, maka Allah menghalangi mereka dari rahmat dan karunia-Nya, membiarkan mereka mengurus diri mereka sendiri sehingga mereka tersesat dengan kesesatan yang nyata sebagai hukuman dari meninggalkan keimanan.
[19] Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ia berkata, “Saya pernah sakit, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar menjengukku dengan berjalan kaki. Ketika itu saya pingsan, lalu Beliau berwudhu’ dan menuangkan kepadaku air wudhu’nya, maka saya pun sadar. Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana saya menyelesaikan masalah harta saya?” Beliau tidak menjawab apa-apa hingga turun ayat warisan, “Yastaftuunaka, qulillahi yuftiikum fil kalaalah…dst.”
Catatan:
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa ayat, “Yuushiikumullahu fii awlaadikum” (An Nisaa': 11) turun berkenaan dengan Jabir, sedangkan ayat di atas, yakni “Yastaftuunaka…dst.” turun berkenaan dengan Jabir pula. Al Haafizh Ibnu Katsir rahimahullah merajihkan bahwa ayat, “Yuushiikumullahu…dst.” turun berkenaan dengan puteri-puteri Sa’ad bin Rabii’, sedangkan ayat, “Yastaftuunaka..dst.” turun berkenaan dengan Jabir, karena ia dia memiliki beberapa orang saudari dan tidak memiliki puteri.
[20] Kalalah adalah seseorang mati tidak meninggalkan ayah atau kakek dan anak atau cucu.
[21] Laki-laki maupun perempuan.
[22] Sekandung atau sebapak.
[23] Yakni ditinggalkan saudaranya, baik berupa uang, barang tetap (tidak bisa dipindahkan) maupun perabot. Tentunya setelah dibayarkan hutangnya dan ditunaikan wasiat sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
[24] Baik sekandung atau sebapak (sebagai ‘ashabah).
[25] Jika saudara perempuan memiliki anak laki-laki, maka saudara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa, atau jika memiliki anak perempuan, maka saudara laki-laki mendapatkan sisa setelah bagian anak perempuan. Namun jika yang menjadi ahli waris adalah saudara perempuan seibu saja atau saudara laki-laki seibu saja, maka bagiannya adalah 1/6 sebagaimana telah diterangkan sebelumnya (lihat An Nisaa': 12)
[26] Atau lebih, karena ayat ini turun berkenaan dengan Jabir yang wafat meninggalkan beberapa orang saudari.
[27] Tidak seibu.
[28] Termasuk di antaranya tentang warisan. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan, bahwa ayat ini merupakan ayat yang terakhir turun tentang faraa’idh.
Hubungan surat An Nisaa’ dengan surat Al Maa’idah
1. Surat An Nisaa’ menerangkan beberapa macam ‘aqad, seperti perkawinan, perceraian, wasiat dan sebagainya. Sedang permulaan surat Al Maa-idah menyatakan agar hamba-hamba Allah memenuhi segala macam ‘aqad-‘aqad yang telah dilakukan baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia di samping menerangkan ‘aqad-‘aqad yang lain.
2. Surat An Nisaa’ mengemukakan beberapa hukum secara umum dan mendatangkan jalan untuk menetapkan suatu hukum, kemudian surat Al Maa-idah menjelaskan dan menegaskan hukum-hukum itu.
3. Sebagaimana halnya surat Al Baqarah dan surat Ali ‘Imran mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan pokok-pokok agama seperti keesaan Allah dan kenabian, maka surat An Nisaa’ dan Al Maa-idah menerangkan tentang furu’ agama (hukum fiqh), seperti hal-hal yang berhubungan dengan hukum keluarga dan sebagainya.
4. Akhir surat An Nisaa’ mengemukakan hujjah-hujjah atas kekeliruan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta kekeliruan kaum musyrik dan munafik. Hal yang serupa diterangkan secara panjang lebar dalam surat Al Maaidah.
5. Surat An Nisaa’ dimulai dengan Yaa ayyuhannaas yang nadanya sama dengan nada surat Makkiyyah, sedangkan surat Al Maa-idah sebagai surat Madaniyyah dimulai dengan, Yaa ayyuhal ladziina aamanu. Hal ini menyatakan bahwa meskipun nadanya berlainan, tetapi yang ditujukan oleh kedua surat ini adalah seluruh manusia.
6. Surat An Nisaa’ menerangkan beberapa hukum, sedangkan surat Al Maa’idah menyempurnakannya.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat An Nisa', Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.
0 komentar
Posting Komentar