7/02/2015

TAFSIR SURAT AL BAQARAH AYAT 183-187

SPACE

Tafsir Al Qur'an Surat Baqarah Ayat Yang Ke: 183, 184, 185,186, Dan 187.
Artikel ini merupakan kelanjutan dari tafsir ayat sebelumnya.

Ayat 183-187: Pensyariatan puasa dan penjelasan hukum-hukumnya. Demikian pula menerangkan tentang pentingnya puasa, keutamaan bulan Ramadhan dan keutamaan berdoa di bulan itu

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٨٣) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (١٨٥) وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (١٨٦) أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (١٨٧

Terjemah Surat Al Baqarah Ayat 183-187

183. Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu[1] agar kamu bertakwa[2],

184. (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya[3], wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin[4]. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[5], maka itu lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran[6], sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada[7] di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu[8]. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah[9] atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur[10].

186.[11] Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat[12]. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdo’a kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah-Ku) dan beriman kepada-Ku, agar mereka mendapat petunjuk.

187.[13] Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri kamu[14]. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka[15]. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu, karena itu Allah mengampuni dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu[16]. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar[17] [18]. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam[19]. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf[20] dalam masjid[21]. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya[22]. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa[23].


[1] Dalam ayat ini terkandung beberapa hal:

– Puasa termasuk syari’at yang tidak dimansukh karena maslahatnya yang begitu besar bagi manusia.

– Mendorong umat ini agar semangat melakukannya, yakni hendaknya mereka berlomba-lomba dengan generasi sebelum mereka dalam menyempurnakan amalan dan bersegera kepada hal yang baik.

– Puasa bukanlah hal yang berat yang hanya dibebankan kepada kita.

[2] Ayat di atas menerangkan bahwa puasa merupakan sebab terbesar untuk memperoleh ketakwaan. Puasa merupakan tameng bagi seseorang dari perbuatan maksiat, karena ia dapat melemahkan syahwat yang menjadi sumber maksiat. Di dalam puasa terkandung nilai-nilai ketakwaan, di antaranya:

– Di dalam puasa seseorang meninggalkan hal-hal yang disukainya seperti makan, minum dan berjima’. Jika seseorang mampu meninggalkan hal-hal yang disukainya, nantinya ketika dihadapkan perbuatan maksiat yang disukai hawa nafsunya, maka ia mampu menahan dirinya sebagaimana ia mampu menahan dirinya dari makan, minum dan berjima’. Dengan begitu ia dapat bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

– Orang yang berpuasa melatih dirinya agar merasa diawasi Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Ketika puasa, ia meninggalkan apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya padahal ia mampu karena mengetahui bahwa dirinya diawasi Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

– Puasa mempersempit ruang gerak setan, di mana ia berjalan melewati tempat peredaran darah.

– Orang yang berpuasa biasanya banyak menjalankan keta’atan dan maksiatnya berkurang. Hal ini termasuk nilai-nilai ketakwaan.

– Orang yang kaya ketika merasakan pedihnya rasa lapar, membuat dirinya merasakan derita orang-orang fakir dan miskin. Hal ini akan membuatnya ingin bersedekah karena telah merasakan derita orang-orang fakir dan miskin.

[3] Yaitu orang yang sakit berat, orang yang sangat tua, orang yang hamil atau menyusui yang mengkhawatirkan anaknya.

Faedah:

Ada yang berpendapat bahwa pada permulaan diwajibkan puasa, sedangkan sebelumnya para sahabat belum terbiasa melakukan puasa sehingga terasa berat oleh mereka, Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan secara bertahap. Dia memberikan pilihan kepada mereka yang mampu berpuasa untuk melakukan salah satu dari kedua perkara ini; berpuasa atau membayar fidyah. Namun berpuasa tetap lebih utama. Setelah itu, Allah Subhaanahu wa Ta’aala menjadikan puasa mesti dilakukan bagi mereka yang mampu (yakni mampu, sehat dan hadir pada bulan itu di negeri tempat tinggalnya) dengan firman-Nya “Faman syahida minkumusy syahra fal yashum-h”, Ibnu Abbas berkata, “Kecuali wanita yang hamil dan menyusui, jika keduanya mengkhawatirkan keadaan anaknya, maka ayat ini tetap berlaku tidak dihapus hukumnya bagi mereka berdua.”

[4] Seukuran satu mud (satu kaupan tangan orang dewasa) dari makanan pokok daerah setempat.

[5] Maksudnya memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari.

[6] Yakni dari Al Lauhul Mahfuzh ke langit dunia di malam Lailatul Qadr.

[7] Yakni dalam keadaan sehat dan tidak safar.

[8] Ayat ini menunjukkan bahwa semua perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya pada asalnya adalah mudah. Oleh karena itu, ketika ada beberapa hal yang menjadikannya berat, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengadakan bentuk kemudahan lainnya, bisa berupa pengguguran kewajiban (misalnya gugurnya kewajiban hajji bagi yang tidak mampu) atau meringankan dengan berbagai bentuk peringanan (misalnya ketika shalat, jika tidak sanggup sambil berdiri, bisa dilakukan sambil duduk dsb).

[9] Dengan bertakbir pada hari Idul Fithri. Sebagain ulama ada yang berdalil dengan ayat ini, bahwa takbir ‘Ied dimulai dari sejak melihat hilal Syawwal sampai selesai khutbah ‘Ied.

[10] Yakni terhadap nikmat hidayah, taufiq dan kemudahan-Nya yang diberikan kepada kita.

[11] Dalam tafsir Al Jalaalain disebutkan, bahwa sebagian manusia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah Tuhan kita dekat sehingga cukup berbisik-bisik dalam meminta ataukah jauh sehingga kita perlu memanggil-Nya?”, maka turunlah ayat ini.

Ayat ini juga menerangkan adab dalam berdo’a, yakni agar tidak keras-keras, karena Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.

[12] Ilmu-Nya meliputi mereka, Dia mendengar dan Mengetahui mereka dengan ketinggian Dzat-Nya di atas ‘Arsyi-Nya.

[13] Imam Bukhari meriwayatkan dari Al Barra’, ia berkata, “Para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika berpuasa, kemudian tiba waktu berbuka, lalu seseorang tidur sebelum berbuka, maka ia tidak makan di malam harinya dan di siang harinya sampai sore hari. Pernah suatu ketika Qais bin Sharmah Al Anshariy berpuasa, saat tiba waktu berbuka, ia mendatangi istrinya dan berkata kepadanya, “Apakah kamu memiliki makanan?” Istrinya menjawab, “Tidak. Akan tetapi, saya akan pergi mencarikan untukmu.” Di siang harinya, Qais bekerja sehingga membuatnya cepat mengantuk di malam hari, lalu istrinya berkata, “Rugi sekali kamu!”. Ketika di siang hari, Qais pun pingsan, lalu diberitahukan masalah tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka turunlah ayat ini, “Uhilla lakum lailatash shiyaamur rafatsu ilaa nisaa’ikum“, maka para sahabat bergembira sekali. Demikian pula ayat, “Wa kuluu wasy rabuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswad“…dst.

Imam Bukhari menyebukan kembali dalam Kitabut tafsir dengan adanya perubahan pada sebagian sanad, dan di sana disebutkan secara tegas bahwa Abu Ishaq mendengar secara langsung, lafaznya adalah: Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, para sahabat tidak mendekati istri selama bulan Ramadhan penuh, namun ada beberapa orang yang mengkhianati dirinya, maka Allah menurunkan ayat, “Alimallahu annakum kuntum takhtaanuuna anfusakum fataaba ‘alaikum.”

Zhahir kedua hadits di atas nampak berbeda, akan tetapi tidak ada salahnya jika ayat tersebut turun berkenaan orang ini dan itu.

[14] Ayat ini turun untuk menaskh (menghapus) larangan berjima’, makan dan minum setelah ‘Isya atau setelah tidur di awal-awal Islam.

[15] Kata-kata ini merupakan kinayah yang menerangkan bahwa masing-masing saling membutuhkan.

[16] Yakni niatkanlah dalam berjima’ itu untuk bertaqarrub kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala serta memperoleh tujuan dari jima’, yaitu memperoleh keturunan, menjaga farjinya, menjaga farji istri dan memperoleh maksud daripada nikah. Termasuk “mencari apa yang ditetapkan Allah untuk kita” adalah mencari Lailatul qadr yang bertepatan dengan malam hari bulan Ramadhan. Oleh karena itu, tidak sepatutnya kita tetap bersenang-senang dengan istri dan membiarkan Lailatul qadr lewat begitu saja. Bersenang-senang masih bisa dikejar, adapun Lailatul qadr jika sudah lewat, tidak bisa dikejar.

[17] Imam Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad ia berkata, “Telah turun ayat, “Wa kuluu wasy rabuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswad” (artinya: Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam), namun belum turun kata-kata, “Minal fajr” (yaitu fajar). Oleh karena itu, ada beberapa orang sahabat, ketika ingin berpuasa, salah seorang di antara mereka mengikat benang putih dan benang hitam di kakinya. Ia senantiasa makan sampai ia jelas melihat kedua benang itu, maka Allah menurunkan ayat, “Minal fajr“, maka mereka pun mengetahui bahwa maksudnya adalah malam dan siang.

[18] Ayat ini menerangkan waktu makan, minum dan berjima’, yaitu sampai terbit fajar shadiq. Ayat ini juga menunjukkan bahwa apabila seseorang makan atau minum dalam keadaan ragu-ragu apakah sudah terbit fajar atau belum, maka tidak mengapa. Demikian juga menerangkan beberapa hal berikut:

– Anjuran makan sahur dan anjuran menta’khirkannya; diambil dari rukhshah dan kemudahan yang diberikan Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

– Bolehnya seseorang mendapatkan waktu fajar dalam keadaan junub dari jima’ yang dilakukan sedangkan ia belum mandi, dan puasanya sah. Hal ini, karena sesuatu yang lazim dari bolehnya jima’ sampai terbit fajar adalah mendapatkan waktu fajar dalam keadaan baru selesai jima’ (masih junub), dan lazim dari yang hak (benar) adalah hak (benar) pula.

[19] Dimulai dari tenggelamnya matahari.

[20] I’tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Ayat ini menerangkan larangan bagi orang yang beri’tikaf ketika keluar karena suatu keperluan, lalu ia menggauli istrinya, dan menunjukkan bahwa I’tikaf menjadi batal karena jima’.

[21] Ayat ini menunjukkan disyari’atkannya I’tikaf, dan bahwa I’tikaf hanya sah di masjid, yakni masjid yang mereka kenal, yaitu masjid yang dipakai shalat lima waktu.

[22] Kata-kata “jangan mendekati” lebih dalam daripada sekedar “jangan melakukan”. Karena jangan mendekati mencakup larangan mengerjakan perbuatan yang dilarang tersebut, demikian juga segala wasilah (sarana) yang mengarah kepadanya.

[23] Karena biasanya orang-orang melakukan perbuatan maksiat, karena tidak mengetahui bahwa hal itu merupakan maksiat, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala di ayat tersebut menerangkan hukum-hukum-Nya agar mereka dapat menjauhinya. Dengan demikian, tidak ada lagi ‘udzur dan alasan untuk mengerjakan larangan tersebut.


Tags: Tafsir Lengkap, Al Quran Digital, Arti Ayat Al Quran, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Ayat Ayat Al Quran, Download Tafsir Al Quran, Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki, Tafsir Al Quran Online, Tafsir Quran Indonesia, Terjemahan Al Quran

0 komentar

Posting Komentar