Tafsir Qur'an Surat An Nisa' Ayat 1, 2, 3, 4, 5, Dan 6.
Berisi tentang perintah takwa, asal dan nenek moyang manusia, serta pentingnya menjaga silaturrahim. Lalu menerangkan tentang poligami dalam Islam, berbuat baik terhadap anak yatim dan menjaga hartanya, kewajiban orang yang mendapat wasiat, dan kewajiban wali terhada orang yang berada dibawah perwaliannya.
Silahkan baca juga tafsir surat sebelumnya; Al Baqarah disini.
Surat An Nisaa’ (Wanita)
Surah yang ke-4 terdiri 176 ayat dan termasuk kedalam golongan surat Madaniyyah
Ayat 1: Perintah bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, dan mengingatkan manusia dengan nenek moyang mereka, yaitu Adam ‘alaihis salam
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (١
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
1.[1] Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri (Adam)[2], dan daripadanya[3] Allah menciptakan istrinya[4]; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta[5], dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan (silaturrahim). Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Ayat 2-6: Batasan poligami dan hikmahnya dalam Islam, wasiat berbuat baik kepada anak-anak yatim dan memelihara harta mereka, dan menerangkan kewajiban para washi (orang yang mendapat wasiat) terhadap asuhannya dan kewajiban para wali terhadap orang yang berada di bawah perwaliannya
وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا (٢) وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣) وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (٤) وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا (٥) وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا (٦
2.[6] Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk[7], dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu[8]. Sesungguhnya tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar[9].
3.[10] Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (apabila kamu menikahinya)[11], maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi[12]: dua, tiga atau empat[13]. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil[14], maka (nikahilah) seorang saja[15], atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki[16]. Yang demikian itu[17] lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.
4.[18] Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan[19]. Kemudian, jika mereka[20] menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati[21], maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati[22].
5. Dan janganlah kamu[23] serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya[24], harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu[25] yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja[26] dan pakaian (dari hasil harta itu) serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik[27].
6. Dan ujilah[28] anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah[29]. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas[30], maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Janganlah kamu memakan harta anak yatim melebihi batas yang patut[31] dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa[32]. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut[33] [34]. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi[35]. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
[1] Allah Subhaanahu wa Ta’aala memulai surat ini dengan perintah bertakwa kepada-Nya, mendorong mereka beribadah kepada-Nya dan menyuruh menjaga tali silaturrahim. Allah Ta’ala menerangkan sebab yang mengharuskan semua itu, yaitu karena Dia adalah Tuhan kamu yang menciptakan kamu. Demikian juga karena kamu biasa menggunakan nama-Nya untuk meminta antara yang satu dengan yang lain. Di samping itu, Dia pun selalu mengawasi kamu. Ini semua menghendaki kita untuk memiliki sikap muraqabah, rasa malu dan tetap menjaga ketakwaan kepada-Nya. Di awal surat ini, Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan secara umum bertakwa kepada-Nya dan menyambung tali silaturrahim, dan akan disebutkan secara rincinya ketakwaan itu pada ayat-ayat selanjutnya. Nampaknya ayat-ayat selanjutnya berpangkal kepada masalah tersebut, menerangkan apa yang masih samar dalam masalah di atas.
[2] Disebutkan bahwa manusia berasal dari seorang diri adalah agar manusia menyadari bahwa bapak mereka adalah sama (Adam ‘alaihis salam), di mana hal ini menghendaki mereka untuk saling menyayangi antara satu dengan lainnya. Oleh karenanya, disebutkan pula perintah memelihara hubungan silaturrahim dan tidak memutuskannya untuk memperkuat masalah ini. Disebutkan sebelumnya perintah bertakwa kepada Allah adalah agar manusia semuanya sama-sama menyembah kepada Allah dan bersatu di atasnya.
[3] Maksud daripadanya menurut jumhur (mayoritas) mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam ‘alaihis salam. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Namun ada pula yang menafsirkan daripadanya di sini adalah dari unsur yang serupa, yakni tanah yang daripadanya Adam ‘alaihis salam diciptakan.
[4] Yaitu Hawa’.
[5] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti As-aluka billah artinya “saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.” Digunakannya nama Allah adalah karena orang yang meminta mengetahui bahwa orang yang diminta tentu mengagungkan Allah Tuhannya, oleh karenanya ia tentu akan memenuhi permintaannya.
[6] Ayat ini turun berkenaan dengan seorang anak yatim yang meminta harta kepada walinya, namun walinya enggan memberikan. Ayat ini merupakan wasiat pertama yang terkait dengan hak orang lain, terutama anak yatim yang ditinggal wafat bapaknya saat mereka masih kecil, lemah dan tidak ada orang yang menanggung mereka, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang memerintahkan hamba-hamba-Nya berbuat ihsan kepada mereka, tidak mendekati harta mereka kecuali dengan cara yang baik serta memberikan harta mereka secara sempurna saat mereka telah baligh dan cerdas.
[7] Misalnya menukar harta anak yatim yang bagus dengan harta milik wali yang jelek atau si wali mengambil harta anak yatim yang berharga lalu menukarnya dengan hartanya yang murah.
[8] Yakni mencampurnya dengan maksud agar dapat memakan harta mereka. Hal ini merupakan helat (cari-cari jalan untuk menghalalkan yang haram).
[9] Dalam ayat ini terdapat dalil adanya kewalian terhadap anak yatim. Di dalamnya juga terdapat perintah mengurus hartanya dengan baik, memeliharanya, mengembangkannya dan menjaganya dari bahaya.
[10] Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ada seseorang yang memiliki seorang anak yatim perempuan, lalu laki-laki itu menikahinya, dan ia memiliki seranting kurma, sehingga ia menahan wanita itu karenanya, sedangkan dalam dirinya tidak ada rasa suka terhadap si wanita, maka turunlah ayat, “Wa in khiftum allaa tuqsithuu fil yataamaa.” Saya kira (yakni menurut Hisyam bin Yusuf seorang rawi), “Si yatim ini adalah sekutunya dalam ranting kurma itu dan dalam hartanya.”
[11] Misalnya tidak memberikan mereka mahar seperti halnya wanita-wanita yang lain.
[12] Yang sesuai dengan pilihanmu, misalnya baik dalam beragama, berharta, cantik, berkedudukan dan bernasab serta sifat-sifat lain yang mendorong untuk menikahinya, namun yang utama adalah mencari yang baik agamanya (shalihah) sebagaimana yang disarankan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam ayat ini diterangkan bahwa sepatutnya seseorang memilih calon istri yang tepat sebelum menikah, bahkan syari’ (penetap syari’at) membolehkannya untuk melihat wanita yang hendak dinikahi agar ia betul-betul matang dalam memilih.
[13] Jangan lebih dari empat.
[14] Berlaku adil di sini adalah perlakuan yang adil dalam memenuhi kebutuhan istri seperti dalam hal pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[15] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat dirinya bisa berlaku adil dan sanggup memenuhi hak istri yang lain. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam ayat ini diterangkan bahwa batas poligami hanya sampai empat wanita saja.
[16] Karena mereka tidak memiliki hak yang sama dengan istri sehingga tidak wajib adil, seperti dalam hal giliran.
[17] Menikahi wanita sampai empat (tidak lebih), atau satu saja atau dengan budak wanita.
[18] Karena biasanya kaum lelaki menzalimi wanita dalam hal mahar, mereka mengurangi maharnya, terlebih jika nilainya besar dan langsung diberikan, hatinya merasa berat memberikannya, maka di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan untuk memberikan mahar mereka, jangan sengaja menundanya atau menguranginya. Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa mahar diberikan kepada wanita apabila mukallaf (sudah dewasa), dan bahwa si wanita yang memilikinya. Demikian juga bahwa wali tidak berhak apa-apa terhadap maskawin itu selain pemberian yang direlakannya.
[19] Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan menurut persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
[20] Yakni wanita. Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa si wanita berhak bertindak terhadap hartanya jika ia cerdas.
[21] Yakni dengan keridaan dan menjadi pilihannya menggugurkan sebagiannya atau menundanya atau bahkan menggantinya.
[22] Kata-kata ini “Maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati” untuk menghiangkan rasa tidak enak dalam hati ketika menerima pemberian tersebut.
[23] Yakni para wali.
[24] Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya baik karena hilang akal seperti orang gila, maupun karena belum cerdas seperti orang yang biasa boros. Dalam ayat ini, Allah melarang para wali menmyerahkan harta mereka yang belum sempurna akalnya agar harta itu tidak habis atau binasa. Hal itu, karena Allah menjadikan harta sebagai penopang hamba-hamba-Nya untuk maslahat dunia mereka maupun agama, mereka yang belum sempurna akalnya tidak dapat mengatur hartanya dan menjaganya. Oleh karena itu, wali mereka yang bertindak, yaitu dengan mengeluarkan harta untuk makan dan pakaian mereka, serta mengeluarkan untuk sesuatu yang dharuri (penting) atau dibutuhkan mereka baik terkait dengan agama maupun dunia.
[25] Disandarkannya harta kepada para wali sebagai isyarat wajibnya bagi para wali memberlakukan harta anak yatim sebagaimana mereka memberlakukan harta mereka dengan menjaganya, bertindak tepat dan tidak membawa kepada hal-hal yang berbahaya.
[26] Yakni berikanlah mereka makanan dari harta itu. Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa nafkah orang gila, anak kecil, orang yang kurang akalnya diambil dari harta mereka jika mereka memiliki harta. Demikian juga menunjukkan bahwa perkataan wali adalah diterima dalam hal dakwaannya berupa nafkah yang memang mungkin dan pakaian, karena Allah menjadikan mereka sebagai orang yang diberi amanat (dipercaya) terhadap harta orang-orang yang belum sempurna akalnya itu, sehingga perkataan orang yang diberi amanat adalah diterima.
[27] Misalnya dengan menerangkan kepada mereka –saat mereka meminta harta– bahwa harta akan diserahkan kepada mereka nanti setelah mereka sudah pandai mengaturnya.
[28] Yakni mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercaya. Contoh cara mengetahui apakah mereka sudah mampu mengatur harta atau belum adalah dengan memberikan sedikit harta, kemudian diperhatikan apakah ia akan menghabiskan semua itu tanpa menyisakan untuk kebutuhannya yang akan datang atau menyisakannya. Jika ternyata ia tidak menyisakannya, maka tandanya ia belum bisa mengatur harta, maka hartanya belum bisa diserahkan kepadanya, bahkan ia masih tetap dianggap belum sempurna akalnya meskipun usianya sudah dewasa.
[29] Yakni usia baligh, baik dengan bermimpi atau sudah berusia 15 tahun.
[30] Keadaan agamanya baik dan sudah pandai memelihara harta.
[31] Melebihi batas yang dihalalkan Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
[32] Yakni jangan memakan harta mereka saat mereka masih kecil, di mana ketika itu mereka tidak bisa mengambilnya dari kamu dan tidak bisa mencegah kamu memakannya. Hal ini adalah perkara yang sering dilakukan oleh para wali yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah, di mana mereka menjadikan kewalian terhadap anak yatim sebagai kesempatan, bukan sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, mereka pun menghabiskan harta itu sebelum anak-anak yatim dewasa.
[33] Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Ta’ala, “Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut.” Bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan harta anak yatim, jika pengurusnya seorang yang fakir, maka ia boleh memakan sebagai ganti kepengurusannya terhadapnya, namun secara wajar.
[34] Misalnya sesuai kepengurusannya. Contoh lain memakan harta anak yatim secara ma’ruf (wajar) adalah:
1. Ia mengambilnya, namun sifatnya hanya sebagai pinjaman.
2. Ia memakannya sesuai kebutuhan tanpa berlebihan.
3. Ia mengambilnya ketika melakukan sesuatu untuk anak yatim.
4. Ia mengambilnya ketika terpaksa, jika ia sudah mampu, nanti akan dibayarnya, namun jika ia tidak mampu, maka menjadi halal.
[35] Bahwa mereka telah menerimanya dan beban kalian telah lepas agar tidak timbul pertengkaran. Perintah ini merupakan saran.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat An Nisa', Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.
0 komentar
Posting Komentar