Tafsir Al Qur'an Surat An Nahl Ayat 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, dan 40.
Ayat-ayat berikut ini menerangkan tentang orang yang berbuat baik kepada sesama dan ihsan dalam ibadah kepada Allah. Balasan baginya didunia dan diakhiat, yakni kebaikan yang pasti lebih baik termasuk surga. Lalu terdapat dalil bahwa Allah tidaklah menzalimi, tetapi merekalah yang menzalimi dirinya. Sikap orang musyrik terhadap dakwah para Rasul dan seruan tauhid. Dalil tentang kekuasaan Allah yang hanya dengan mengatakan “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.
Baca juga: Tafsir An Nahl Ayat 14-29
Ayat 30-32: Balasan bagi orang yang berbuat ihsan di dunia dan pemuliaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala untuk mereka di akhirat.
30. [1]Kemudian dikatakan kepada orang yang bertakwa, “Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Kebaikan.” Bagi orang yang berbuat baik di dunia ini[2] mendapat (balasan) yang baik[3]. Dan sesungguhnya negeri akhirat[4] pasti lebih baik[5] dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa,
31. (yaitu) surga-surga ‘And yang mereka masuki, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam (surga) itu mereka mendapat segala apa yang diinginkan[6]. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang yang bertakwa,
32. (yaitu) orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik[7], mereka (para malaikat) mengatakan (kepada mereka)[8], “Salaamun’alaikum[9], [10]masuklah kamu ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan[11].”
Ayat 33-34: Akibat orang yang menzalimi dirinya di dunia dan balasan orang yang datang pada hari Kiamat membawa dosa-dosa.
33. Tidak ada yang ditunggu mereka (orang kafir)[12] selain datangnya para malaikat kepada mereka[13] atau datangnya perintah Tuhanmu[14]. Demikianlah yang telah diperbuat oleh orang-orang (kafir) sebelum mereka[15]. Allah tidak menzalimi mereka[16], justru merekalah yang selalu menzalimi diri mereka sendiri[17].
34. Maka mereka ditimpa azab (akibat) perbuatan mereka dan diliputi oleh azab yang dulu selalu mereka perolok-olokan.
Ayat 35-40: Menerangkan bagaimana orang-orang musyrik tertipu dengan kesyirikannya dan beralasan dengan qadar, ushul (dasar) dakwah para rasul adalah tauhid, menetapkan adanya kebangkitan dan hisab, dan menerangkan kekuasaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala dalam memberlakukan perintah-Nya.
35. Dan orang musyrik berkata, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya[18].” Demikianlah yang diperbuat oleh orang sebelum mereka. Bukankah kewajiban para rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas[19].
36. [20]Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[21],” Kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul)[22].
37. Jika engkau (Muhammad) sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk[23], maka sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan mereka tidak mempunyai penolong[24].
38. Dan mereka[25] bersumpah dengan nama Allah dengan sumpah yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati”. Tidak demikian (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,
39. [26]Agar Dia menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu[27], dan agar orang kafir itu mengetahui bahwa mereka adalah orang yang berdusta[28].
40. Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu[29].
[1] Setelah Allah menyebutkan tentang orang-orang yang mendustakan, maka Allah menyebutkan tentang orang-orang yang bertakwa, bahwa ketika mereka ditanya tentang Al Qur’an yang diturunkan, maka mereka mengakuinya bahwa ia merupakan nikmat dan kebaikan yang besar yang dilimpahkan Allah kepada makhluk-Nya. Mereka menerima nikmat itu, tunduk kepadanya dan mensyukurinya. Mereka pun mempelajarinya dan mengamalkannya.
[2] Dengan berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah dan berbuat ihsan terhadap hamba-hamba Allah.
[3] Ada yang menafsirkan dengan mendapatkan kehidupan yang baik seperti rezeki yang lapang, kehidupan yang menyenangkan, ketenteraman, keamanan dan kegembiraan.
[4] Yakni surga.
[5] Dari kehidupan dunia dan kenikmatannya.
[6] Allah Ta’ala memberikan kepada mereka apa yang mereka inginkan, sampai Allah mengingatkan mereka beberapa nikmat yang tidak terlintas di hati mereka. Maka Maha banyak keberkahan-Nya, di mana tidak ada habis-habisnya kepemurahan-Nya, dan tidak ada batas pemberian-Nya, di mana tidak ada yang serupa dengan-Nya baik sifat zat-Nya, sifat perbuatan-Nya, atsar (bekas atau pengaruh) dari sifat-sifat itu, keagungan dan kebesaran kerajaan-Nya.
[7] Maksudnya: wafat dalam keadaan bersih dari kekafiran atau dapat juga berarti mereka mati dalam keadaan senang karena ada berita gembira dari malaikat bahwa mereka akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menjaga ketakwaan itu sampai akhir hayat.
[8] Ketika maut datang kepada mereka.
[9] Artinya: selamat sejahtera bagimu dari segala musibah dan malapetaka.
[10] Dan di akhirat akan dikatakan kepada mereka seperti yang disebutkan dalam ayat di atas.
[11] Berupa iman dan amal saleh. Amal merupakan sebab mereka masuk surga dan selamat dari neraka, akan tetapi amal tersebut dilakukan mereka berkat rahmat Allah dan karunia-Nya; bukan karena usaha dan kemampuan mereka.
[12] Yang telah datang kepada mereka ayat-ayat, namun mereka tidak beriman, dan telah diperingatkan, namun tidak sadar.
[13] Yakni untuk mencabut nyawa mereka.
[14] Yakni kedatangan azab dari Allah untuk memusnahkan mereka atau kedatangan kiamat, karena sesungguhnya mereka telah berhak menerimanya.
[15] Mereka mendustakan rasul-rasul, lalu dibinasakan.
[16] Ketika mengazab mereka.
[17] Dengan kekafiran, padahal mereka tidaklah diciptakan kecuali untuk beribadah kepada-Nya agar mereka mendapatkan kenikmatan yang sempurna di akhirat. Mereka menzalimi diri mereka dan meninggalkan sesuatu yang karenanya mereka diciptakan serta menjatuhkan dirinya kepada kehinaan yang kekal dan kesengsaraan selamanya.
[18] Orang-orang musyrik beralasan terhadap perbuatan syirk mereka dengan kehendak Allah, yakni jika Allah menghendaki tentu mereka tidak akan berbuat syirk serta tidak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan-Nya, seperti bahiirah, washilah, ham, dsb. (lihat Al Maa’idah: 103). Ini adalah alasan yang batil. Hal itu, karena jika alasan ini benar, tentu Allah tidak akan menyiksa orang-orang sebelum mereka yang telah berbuat syirk. Bahkan maksud mereka dengan mengatakan hal itu tidak lain untuk menolak kebenaran yang dibawa para rasul. Karena jika tidak demikian, sesungguhnya mereka mengetahui bahwa mereka tidak memiliki alasan di hadapan Allah. Bukankah Allah telah memerintah dan melarang mereka? Membuat mereka mampu memikul yang dibebankan kepada mereka, memberikan kepada mereka kemampuan dan kehendak yang daripadanya muncul perbuatan mereka. Oleh karena itu, alasan mereka dengan taqdir ketika berbuat maksiat adalah alasan yang paling batil. Semua manusia merasakan, bahwa mereka dalam perbuatannya tidak dipaksa, karena Allah telah memberi mereka kemampuan dan kehendak. Jika seandainya perbuatan mereka dipaksa, maka tentu Allah tidak akan menghukum mereka. Oleh karena itu, pernyataan mereka bertentangan dengan dalil wahyu maupun dalil akal.
[19] Dan tidak ditugaskan memberi hidayah. Dengan demikian, tidak ada alasan sedikit pun bagi seseorang di hadapan Allah jika Dia mengazab mereka, karena Dia telah mengutus para rasul-Nya untuk mengingatkan mereka.
[20] Allah Ta’ala memberitahukan bahwa hujjah-Nya telah ditegakkan kepada semua umat dengan mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi sesembahan selain Allah. Terhadap seruan rasul tersebut, manusia terbagi menjadi dua golongan; ada yang mengikuti para rasul baik dalam hal ilmu maupun amal, dan ada pula yang tidak mengikutinya, dan inilah orang yang disesatkan Allah ‘Azza wa Jalla.
[21] Thaghut adalah setan dan apa saja yang disembah selain Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
[22] Kamu tidak menemukan seorang pun yang mendustakan rasul kecuali akhir kehidupannya dengan dibinasakan.
[23] Padahal Allah telah menyesatkan mereka, maka sesungguhnya engkau tidak akan sanggup.
[24] Dari azab Allah.
[25] Yakni orang-orang musyrik.
[26] Di ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta’aala menerangkan hikmah dibangkitkan-Nya mereka.
[27] Dengan kaum mukmin tentang perkara agama (baik perkara besar seperti ‘aqidah, maupun perkara yang ringan, seperti masalah furu’/cabang). Pada hari itu, Allah Subhaanahu wa Ta’aala menerangkan yang benarnya.
[28] Dalam mengingkari kebangkitan. Mereka akan mengetahui kedustaan mereka saat mereka melihat amal mereka menjadi penyesalan bagi mereka, sesembahan yang mereka sembah ternyata tidak memberi mereka manfaat apa-apa, dan ketika mereka melihat apa yang mereka sembah menjadi bahan bakar api neraka, matahari dan bulan di gulung lalu dijatuhkan ke dalam neraka, demikian juga bintang-bintang, dan ketika itu jelaslah bagi penyembahnya bahwa semua itu adalah makhluk yang ditundukkan, dan bahwa semuanya butuh kepada Allah. Memenuhi semua kebutuhan mereka tidaklah sulit bagi Allah, bukankah apabila Dia berkehendak kepada sesuatu cukup mengatakan, “Jadilah!” Maka jadilah ia, tanpa ada yang menghalangi dan menolaknya, bahkan akan terjadi sesuai yang dikehendaki-Nya.
[29] Dalam tafsir Al Jalaalain diterangkan, bahwa ayat ini dimaksudkan untuk menguatkan kekuasaan Allah dalam membangkitkan manusia.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat An Nahl, Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Kandungan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.
0 komentar
Posting Komentar