Tafsir Al Qur'an Surat Al Kahfi Ayat yang ke: 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, dan 85.
Memberikan penjelasan atas tindakan-tindakan Nabi Khidir yang telah melubangi perahu, membunuh anak, dan menegakkan tembok rumah yang hampir roboh. Hikmah dan pelajaran yang dapat di petik dari kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa ini.
Lalu menerangkan tentang kisah Dzulqarnain; seorang raja yang bernama Iskandar, dimana Allah memberikan kerajaan kepadanya dan mampu meng-ekspansi berbagai penjuru dunia.
Baca juga: Tafsir Al Kahfi Ayat 60-74
Juz 16
Ayat 75-77: Tindakan yang dilakukan Khidir dan sanggahan Nabi Musa ‘alaihis salam terhadapnya.
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (٧٥) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا (٧٦)فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (٧٧
75. Khidir berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?”
76. Dia (Musa) berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup (bersabar) menerima alasan dariku[1].”
77. Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri[2], mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka[3], kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu) lalu dia (Khidir) menegakkannya. Musa berkata, “Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu[4].”
Ayat 78-82: Hikmah-hikmah dari perbuatan Khidir.
قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٧٨) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (٧٩) وَأَمَّا الْغُلامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (٨٠) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (٨١) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢
78. Dia (Khidir) berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan engkau[5]; aku akan memberikan penjelasan kepadamu atas perbuatan yang engkau tidak mampu sabar terhadapnya.
79. Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut[6], aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja[7] yang akan merampas setiap perahu[8].
80. Dan adapun anak itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran[9].
81. Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan seorang anak lain yang lebih baik kesuciannya daripada anak itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya)[10].
82. Adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, sedang ayahnya seorang yang saleh[11], maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat[12] bukan menurut kemauanku sendiri[13]. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya[14].”
Ayat 83-85: Kisah Dzulqarnain dan pemberian Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepadanya segala sebab untuk menguasai.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُمْ مِنْهُ ذِكْرًا (٨٣) إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الأرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا (٨٤) فَأَتْبَعَ سَبَبًا (٨٥)
83. Dan mereka[15] bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain[16]. Katakanlah, “Akan kubacakan kepadamu kisahnya[17].”
84. Sungguh, Kami telah memberi kedudukan kepadanya di bumi[18], dan Kami telah memberikan jalan kepadanya (untuk mencapai) segala sesuatu[19],
85. Maka dia pun menempuh suatu jalan[20].
[1] Yakni engkau telah memberiku uzur dan tidak mengurangi.
[2] Ada yang mengatakan, bahwa negeri itu adalah negeri Anthakiyah.
[3] Padahal yang demikian (menjamu tamu) wajib bagi mereka.
[4] Yakni karena mereka tidak menjamu kita, padahal kita butuh makan.
[5] Yakni karena engkau telah membuat syarat terhadap dirimu, uzur telah hilang serta kita tidak bisa bersama lagi.
[6] Yang seharusnya dikasihani.
[7] Yang zalim.
[8] Yang kondisinya baik. Dengan dilubangi perahunya, maka perahu ini selamat dari rampasan raja yang zalim tersebut.
[9] Yakni maka aku membunuhnya untuk menyelamatkan agama ibu bapaknya. Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« إِنَّ الْغُلاَمَ الَّذِى قَتَلَهُ الْخَضِرُ طُبِعَ كَافِرًا وَلَوْ عَاشَ لأَرْهَقَ أَبَوَيْهِ طُغْيَانًا وَكُفْرًا » .
Yang demikian karena kecintaan yang dalam dari orang tua kepadanya, sehingga mau menuruti keinginan anaknya.
[10] Yakni anak yang saleh, bersih, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Berbeda dengan anak sebelumnya yang jika dibiarkan hingga dewasa, maka anak itu akan durhaka kepada kedua orang tuanya, bahkan akan membuat orang tuanya sesat dan kafir.
[11] Keadaan kedua anak yatim tersebut perlu diperhatikan, karena telah ditinggal wafat bapaknya ketika masih kecil. Allah menjaga keduanya karena kesalehan bapaknya.
[12] Yaitu melubangi perahu, membunuh anak muda, dan menegakkan kembali dinding yang hampir roboh.
[13] Bahkan ilham dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
[14] Dalam kisah Musa dan Khidir terdapat beberapa pelajaran, di antaranya:
– Keutamaan ilmu,
– Keutamaan mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu. Hal itu, karena Nabi Musa ‘alaihis salam lebih memilih mengadakan perjalanan panjang untuk mencari ilmu meninggalkan (sementara) mengajar dan membimbing Bani Israil.
– Mendahulukan perkara yang terpenting di antara sekian yang penting. Nabi Musa ‘alaihis salam di samping mengajar, Beliau menyempatkan diri untuk belajar. Hal itu, karena air dalam sebuah teko, jika terus dituang, maka akan habis sehingga perlu diisi.
– Bolehnya mengangkat pelayan baik ketika tidak safar maupun safar untuk memenuhi kebutuhannya.
– Bepergian untuk mencari ilmu atau berjihad dsb. jika maslahat menghendaki untuk diberitahukan tujuannya dan kemana tujuannya, maka hal itu lebih sempurna daripada disembunyikan. Hal ini berdasarkan perkataan Nabi Musa ‘alaihis salam, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.” Demikian pula sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan para sahabat ketika hendak pergi ke Tabuk padahal biasanya Beliau menyembunyikan. Oleh karena itu, dalam masalah ini dilihat maslahatnya.
– Dihubungkannya keburukan dan sebab-sebabnya kepada setan karena godaan dan penghiasannya, meskipun semua terjadi dengan qadha’ Allah dan qadar-Nya.
– Bolehnya seseorang memberitahukan keadaan dirinya yang menjadi tabi’at manusia, seperti lelah, lapar, haus, dsb. selama tidak menunjukkan marah-marah atau kesal dan kenyataannya memang demikian.
– Dianjurkan memilih pelayan orang yang pandai dan cekatan agar urusan yang diinginkannya menjadi sempurna.
– Dianjurkan seseorang memberikan makanan kepada pelayannya dengan makanan yang biasa dimakannya dan makan secara bersama-sama.
– Pertolongan akan turun kepada seorang hamba sejauh mana ia menjalankan perintah Allah, dan bahwa orang yang mengikuti perintah Allah akan diberikan pertolongan tidak seperti selainnya.
– Hendaknya seseorang memiliki sopan santun kepada guru dan berbicara kepadanya dengan perkataan yang halus. Perkataan Nabi Musa ‘alaihis salam, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” seperti meminta pendapat, dan hal ini menunjukkan kelembutannya. Berbeda dengan orang-orang yang keras dan sombong, yang tidak menampakkan rasa butuh kepada ilmu gurunya.
– Tawadhu’nya orang yang utama untuk belajar kepada orang yang berada di bawahnya.
– Belajarnya seorang alim terhadap ilmu yang tidak dimilikinya kepada orang yang memilikinya, meskipun orang tersebut di bawah jauh derajatnya darinya. Oleh karena itu, tidak patut bagi seorang ahli fiqh dan ahli hadits jika ia kurang dalam ilmu nahwunya atau sharfnya atau ilmu lainnya tidak mau belajar kepada orang yang mengerti tentangnya, meskipun orang itu bukan ahli hadits atau ahli fiqh.
– Penisbatan ilmu dan kelebihan lainnya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, mengakui bahwa ilmu atau kelebihannya itu berasal dari Allah. Hal ini berdasarkan kata-kata Nabi Musa ‘alaihis salam, ”Agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu.”
– Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membimbing kepada kebaikan. Oleh karena itu, setiap ilmu yang di sana terdapat petunjuk kepada jalan-jalan kebaikan, memperingatkan jalan-jalan keburukan, atau sarana yang bisa mengarah kepadanya, maka ilmu tersebut termasuk ilmu yang bermanfaat.
– Orang yang tidak kuat bersabar untuk tetap bersama seorang guru, maka kehilangan banyak ilmu sesuai ketidaksabarannya.
– Sebab untuk bisa bersabar terhadap sesuatu adalah ketika seseorang mengetahui tujuan, faedah, buahnya dan hasilnya dari sesuatu itu.
– Perintah agar seseorang tidak tergesa-gesa menghukumi sesuatu sampai mengerti maksud dan tujuannya.
– Menyertakan kalimat “Insya Allah” terhadap perbuatan-perbuatan hamba di masa datang.
– Seorang guru apabila melihat ada maslahatnya menyuruh murid agar tidak bertanya tentang sesuatu sampai guru tersebutlah yang nanti akan memberitahukan jawaban, maka bisa dilakukan. Misalnya karena guru melihat, bahwa pemahaman si murid masih sedikit atau khawatir akalnya tidak sampai atau karena ada masalah lain yang lebih penting untuk dipelajari olehnya.
– Orang yang lupa tidaklah dihukum, baik terkait dengan hak Allah maupun hak manusia.
– Sepatutnya seseorang mengambil sikap memaafkan ketika bergaul dengan manusia, dan tidak sepatutnya ia membebani mereka dengan beban yang tidak disanggupinya.
– Perkara-perkara dihukumi sesuai zahirnya, dan bahwa hukum-hukum duniawi dikaitkan dengannya, baik dalam hal harta, darah maupun lainnya. Hal itu, karena Nabi Musa ‘alaihis salam mengingkari Khidir ketika melubangi perahu dan membunuh anak, di mana hal ini zahirnya adalah perkara munkar.
– Tidak mengapa melakukan keburukan yang ringan agar keburukan yang besar dapat disingkirkan, dan memperhatikan maslahat yang lebih besar dengan meninggalkan maslahat yang ringan. Membunuh anak merupakan keburukan, akan tetapi membiarkannya sehingga mengakibatkan ibu bapaknya kafir maka lebih buruk lagi.
– Perbuatan yang dilakukan seseorang pada harta orang lain untuk maslahat orang lain itu dan menyingkirkan mafsadat adalah dibolehkan meskipun tanpa izinnya meskipun terkadang perlu merusak sedikit harta orang lain.
– Bekerja boleh di laut, sebagaimana boleh pula di daratan.
– Membunuh merupakan dosa yang besar.
– Membunuh karena qishas bukan merupakan kemungkaran.
– Hamba yang saleh, Allah jaga dirinya dan keturunannya.
– Melayani orang yang saleh adalah amalan utama.
– Memiliki adab terhadap Allah dalam menggunakan lafaz. Khidir misalnya, ia menisbatkan kepada dirinya ketika melubangi perahu, adapun terhadap perbuatan baik, maka ia menisbatkannya kepada Allah.
– Seorang sahabat hendaknya menemani sahabatnya yang lain, tidak berpisah dan meninggalkannya sehingga ia mengemukakan alasan.
– Sepakatnya kawan yang satu dengan yang lain dalam masalah yang tidak terlarang merupakan sebab kuatnya persahabatan.
– Perbuatan yang dilakukan Khidir adalah taqdir Allah Subhaanahu wa Ta’aala semata yang Allah jalankan melalui tangan Khidir untuk menunjukkan kepada manusia betapa lembutnya keputusan-Nya, dan bahwa Dia menaqdirkan untuk hamba perkara-perkara yang tidak disukainya, namun di sana terdapat kebaikan untuk agamanya atau dunianya. Hal ini juga agar mereka ridha dengan qadha’ dan qadar-Nya (lihat Tafsir As Sa’diy).
[15] Yakni orang-orang musyrik dan Ahli Kitab.
[16] Namanya adalah Iskandar, ia seorang raja, namun bukan seorang nabi.
[17] Yakni kisahnya yang dapat diambil pelajaran, adapun selain dari itu, maka tidak diceritakan.
[18] Allah Ta’ala memberikan kerajaan kepadanya dan membuatnya mampu mendatangi berbagai penjuru dunia.
[19] Yakni Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberikan kepadanya sebab-sebab untuk mencapai maksudnya.
[20] Yakni jalan menuju arah barat.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat Al Kahfi, Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Kandungan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.
0 komentar
Posting Komentar