Tafsir Al Surat An Nisa Ayat Ke: 75, 76, 77, 78, Dan 79.
Berisi tentang gambaran dan esensi jihad dijalan Allah, perang melawan orang yang tertindas, bantahan terhadap orang-orang yang mengendorkan semangat jihad fi sabilillah.
Lihat juga tafsir ayat sebelumnya.
Ayat 75-76: Dorongan berjihad, hakikat jihad dan bertempur biasa
وَمَا لَكُمْ لا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا (٧٥) الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا (٧٦
75.[1] Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak[2] yang semuanya berdoa, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu”[3].
76. Orang-orang yang beriman, mereka berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut (setan), maka perangilah kawan-kawan setan itu, (karena) sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.[4]
Ayat 77-79: Bantahan terhadap orang-orang yang mengendorkan semangat jihad, penjelasan tentang hakikat yang sebenarnya dan memperbaiki gambaran jihad
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا (٧٧) أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا (٧٨) مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا (٧٩)
77.[5] [6] Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!” Ketika mereka diwajibkan berperang, tiba-tiba sebagian mereka takut kepada manusia (musuh)[7], seperti takutnya kepada (azab) Allah, bahkan lebih takut dari itu. Mereka berkata[8], “Ya Tuhan Kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tunda (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa[9], dan kamu tidak akan dizalimi sedikitpun[10].
78.[11] Di mana pun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh[12]. Jika mereka[13] memperoleh kebaikan[14], mereka mengatakan, “Ini dari sisi Allah”, dan jika mereka ditimpa suatu keburukan[15] mereka mengatakan, “Ini datangnya dari kamu (Muhammad)”[16]. Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan[17] sedikitpun?”
79. Kebajikan apa pun yang kamu peroleh[18], adalah dari sisi Allah[19], dan keburukan apa pun yang menimpamu[20], itu dari (kesalahan) dirimu sendiri[21]. Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada seluruh manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi[22].
[1] Ayat ini merupakan dorongan dari Allah kepada kaum mukmin agar mau berperang di jalan-Nya, dan bahwa yang demikian harus mereka lakukan, terlebih jihad di sini adalah jihad daf’ (pembelaan); membela orang-orang yang lemah dan tertindas.
[2] Mereka adalah orang-orang yang ditahan orang-orang kafir dari berhijrah dan disakiti.
[3] Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengabulkan permohonan mereka, Dia memudahkan mereka berhijrah dan sebagian lagi tetap tinggal di Mekah sampai tiba Fat-hu Makkah (penaklukkan Mekah). Ketika fat-hu Makkah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat ‘Ataab bin Usaid sebagai gubernur Mekah, Dia pun memberikan hak orang yang terzalimi dari orang yang menzalimi.
[4] Ada beberapa faedah yang dapat diambil dari ayat ini:
Pertama, jihad fii sabilillah, keikhlasan dan sejauh mana ittiba’ seseorang (mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tergantung kadar keimanan seorang hamba. Jihad fii sabilillah merupakan pengaruh dari keimanan, konsekwensinya dan kehendaknya sebagaimana berperang di jalan thaghut termasuk cabang kekafiran dan konsekwensinya.
Kedua, orang-orang yang berperang di jalan Allah hendaknya bersabar dan tahan banting. Hal itu, karena kawan-kawan setan siap bersabar dan tahan banting, padahal mereka di atas kebatilan. Oleh karena itu, orang-orang yang berada di atas kebenaran lebih berhak untuk sabar dan tahan banting. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Jika kamu menderita sakit, maka sesungguhnya mereka pun menderita sakit (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedangkan kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Terj. An Nisaa': 104)
Ketiga, orang-orang yang berperang di jalan Allah berpegang dengan tiang yang kuat, yaitu kebenaran dan bertawakkal kepada Allah. Orang yang memiliki tiang yang kuat dituntut untuk lebih sabar, berani, teguh dan semangat. Berbeda dengan orang yang berada di atas kesalahan.
Pada ayat di atas diterangkan bahwa tipu daya setan adalah lemah. Tipu daya adalah cara tersembunyi yang ditempuh untuk menimpakan bahaya kepada musuhnya. Dalam ayat tersebut diterangkan, bahwa setan itu meskipun telah mencari cara untuk dapat mengalahkan lawannya, namun jika berhadapan dengan kebenaran dan dengan rencana Allah, maka tipu daya itu tidak berarti apa-apa.
[5] Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Abdurrahman bin ‘Auf dan kawan-kawannya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah, lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berada dalam kekuatan saat kami masih musyrik. Ketika kami telah beriman, kami menjadi orang-orang yang lemah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan, oleh karena itu janganlah kamu berperang.” Ketika Allah telah memindahkan kami ke Madinah, Allah memerintahkan kami berperang, namun banyak yang menahan diri (takut).” Maka Allah menurunkan ayat, “Alam tara ilalladziina qiila lahum kuffuu aydiyakum wa aqiimush shalaata…dst.“(Hadits ini para perawinya adalah para perawi kitab shahih).
[6] Kaum muslimin ketika berada di Mekah ingin sekali jika sekiranya diwajibkan berperang kepada mereka karena melihat penindasan yang dilakukan kaum musyrik kepada sebagian saudara-saudara mereka. Namun Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyuruh mereka untuk menahan diri (tidak berperang), tetap melaksanakan shalat dan berzakat. Tetapi maksud zakat di sini bukanlah zakat yang ada nishab dan syarat-syaratnya, bahkan ikut berbagi dengan kaum fakir. Hal itu, karena zakat yang memakai nishab tidak diwajibkan kecuali ketika di Madinah. Kaum muslimin tidak diperintahkan berjihad ketika itu karena beberapa hal, di antaranya:
Pertama, termasuk kebijaksanaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala adalah menetapkan syari’at yang tidak memberatkan hamba-hamba-Nya, memulainya dari yang terpenting dan yang lebih mudah dahulu dan bisa dikerjakan.
Kedua, jika diwajibkan berperang kepada mereka, sedangkan jumlah mereka sedikit dan perlengkapan kurang, tentu hal itu akan membawa kepada lenyapnya Islam, maka diperhatikan maslahat yang lebih besar.
Ketiga, jihad membutuhkan persiapan, baik persiapan fisik, materi maupun persiapan mental. Persiapan mental dapat diperoleh dari pembinaan rohani dan istiqamah di atas amal shalih, di antaranya adalah mendirikan shalat.
Dan karena hal-hal lain yang hanya Allah yang mengetahuinya. Tetapi ketika mereka telah berijrah ke Madinah, di mana agama Islam semakin kuat, maka berperang diwajibkan bagi mereka. Namun setelah diwajibkan berperang, sebagian kaum muslimin yang dahulu meminta disegerakan diwajibkan berperang merasa takut, lemah dan tidak sanggup sambil berkata, “Ya Tuhan Kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tunda (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?“. Padahal yang seharusnya mereka lakukan adalah tunduk kepada perintah Allah dan bersabar di atasnya. Keadaan seperti ini biasanya menimpa kepada mereka yang belum kokoh azamnya, bersegera kepada sesuatu padahal belum tiba waktunya, maka biasanya ia tidak mampu bersabar ketika tiba saatnya dan tidak sanggup memikulnya.
[7] Takut terbunuh.
[8] Karena tidak siap mati.
[9] Yakni bersenang-senang dengan kehidupan dunia hanyalah sebentar. Memikul beban ketaatan kepada Allah dalam waktu yang sebenarnya sebentar membantu seseorang untuk dapat memikul beban itu. Belum lagi ditambah dengan kenikmatan di akhirat yang sempurna; pemandangannya yang indah sampai tidak terbayangkan oleh hati, belum pernah dilihat oleh mata dan belum pernah didengar oleh telinga. Penghuninya kekal dan tidak akan mati, mereka tetap muda dan tidak akan tua, mereka bersaudara tidak bermusuh-musuhan, mereka tetap senang dan tidak pernah sedih, mereka tetap sehat dan tidak pernah sakit, mereka senantiasa memperoleh keamanan dan tidak pernah tertimpa rasa takut dan kekhawatiran. Apa yang mereka inginkan ada di hadapan tanpa perlu bekerja keras dan berusaha, makanan dan minuman enak yang dihidangkan, bidadari yang bermata jeli dan kesenangan lainnya yang amat sempurna. Semua ini menghendaki kita untuk lebih mengutamakan akhirat daripada dunia, mengejarnya dan berusaha kepadanya. Mudah-mudahan kita semua dimasukkan Allah ke dalam surga, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.
[10] Usahamu untuk mengejar kampung akhirat akan kamu dapatkan secara sempurna balasannya tanpa dikurangi sedikit pun.
[11] Di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’aala menerangkan bawa sikap hati-hati tidaklah dapat melawan qadar, dan orang yang duduk tidak berperang, tidaklah dapat menolak taqdir.
[12] Semua ini merupakan dorongan untuk berjihad fii sabilillah. Sesekali berupa targhib (dorongan) dengan menyebutkan keutamaan dan pahalanya, sesekali berupa tarhib (ancaman) yang berupa hukuman bagi yang meninggalkannya dan sesekali berupa pemberitahuan bahwa duduk di tempat (tidak berjihad) tidaklah berguna baginya.
[13] Yakni orang-orang yang berpaling dari apa yang dibawa rasul lagi menentangnya, seperti halnya orang-orang Yahudi.
[14] Seperti tumbuh suburnya tanaman dan tumbuhan, melimpah ruahnya harta, banyak anak dengan kondisi sehat.
[15] Seperti kekeringan, kemiskinan, sakit, meninggalnya anak-anak dan orang yang dicintainya serta musibah lainnya.
[16] Ucapan seperti ini sama seperti ucapan yang dilontarkan Fir’aun kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, “Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Terj. Al A’raaf: 131), demikian juga seperti ucapan kaum Tsamud kepada Nabi Shalih ‘alaihis salam, “Mereka menjawab: “Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu”. Shaleh berkata: “Nasibmu ada pada sisi Allah, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum yang diuji” (Terj. An Naml: 47)
Karena hati mereka sama-sama dalam kekafiran, maka ucapan dan amalan mereka juga sama. Termasuk ke dalam hal ini pula orang-orang yang menisbatkan terjadinya musibah atau hilangnya kebaikan kepada syari’at yang dibawa rasul atau sebagiannya, maka ia tergolong mereka; tergolong orang yang mendapat celaan ini.
[17] Pelajaran dan nasehat-nasehat yang disampaikan. Dalam ayat ini terdapat pujian bagi orang yang memahami apa yang datang dari Allah dan rasul-Nya (mendalami fiqh), dorongan untuk memahaminya dan dorongan untuk melakukan sesuatu yang dapat membantu ke arahnya seperti memperhatikan firman-Nya, mentadabburinya dan menempuh semua jalan yang bisa mengarah kepadanya. Jika mereka memahami apa yang datang dari Allah, tentu mereka mengetahui bahwa kebaikan dan keburukan semuanya dengan qadha’ Allah dan qadar-Nya; tidak keluar daripadanya. Demikian juga bahwa para rasul ‘alaihimus shalaatu was salam bukanlah sebab terhadap keburukan yang ada, baik mereka maupun apa yang mereka bawa, karena mereka tidaklah diutus kecuali untuk memperbaiki dunia dan agama.
[18] Wahai manusia.
[19] Dia-lah yang memberi nikmat itu, memudahkannya dan memudahkan sebab-sebabnya.
[20] Misalnya musibah.
[21] Yakni karena dosa-dosa dan tindakanmu, namun Allah lebih banyak memaafkan. Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah membukakan pintu-pintu ihsan-Nya dan memerintahkan mereka untuk mengambil kebaikan dan karunia-Nya, serta memberitahukan bahwa maksiat dapat menghalangi karunia-Nya. Oleh karena itu, apabila seseorang melakukannya, maka janganlah dia mencela selain dirinya sendiri, karena dirinyalah yang menghalangi untuk mendapatkan karunia Allah dan kebaikan-Nya.
[22] Persaksian ini merupakan persaksian yang paling besar sebagaimana firman Allah Ta’ala, Katakanlah: “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah: “Allah”. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. “ (Terj. Al An’aam: 19). Jika Allah Subhaanahu wa Ta’aala sebagai saksi terhadap kerasulan Muhammad, di mana Dia Mahasempurna ilmu, kekuasaan dan Maha Besar hikmah-Nya, ditambah dengan penguatan Allah kepadanya dengan mukjizat dan pertolongan Allah kepadanya, maka dapat diketahui dengan pasti bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat An Nisa', Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.
0 komentar
Posting Komentar