Tafsir Al Qur'an Surat An Nisa Ayat Ke: 80, 81, 82, 83, 84, 85, Dan 86.
Berisi tentang perintah untuk taat kepada Nabi Muhammad yang ma'shum (terjaga dari kesalahan), ancaman terhadap orang yang beralih dari ketaatan kepada maksiat, tadabbur terhadap firman-Nya, faedah mentadabburi kitab Allah, perang dijalan Allah, dan larangan bersikap tergesa-gesa dalam menyebarkan apa yang didengarnya. Kemudian menerangkan tentang konsep syafa'at, tahiyat atau penghormatan berupa salam, dll.
Baca juga tafsir sebelumnya disini.
Ayat 80-84: Menerangkan penekanan untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menerangkan cacat kaum munafik dan kemunafikan mereka, serta menerangkan kewajiban berperang dan beberapa adab-adabnya
80. Barang siapa yang menaati[1] Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah[2]. Dan Barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara bagi mereka[3].
81. Dan mereka mengatakan, “(Kami siap) taat[4].” Tetapi, apabila mereka telah pergi dari sisimu (Muhammad)[5], sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi[6]. Allah mencatat siasat yang mereka atur di malam hari itu[7], maka berpalinglah dari mereka[8] dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah yang menjadi Pelindung.
82. Maka tidakkah mereka menghayati(merenungi) Al Quran?[9] Sekiranya Al Quran itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.
83.[10] [11] Dan apabila sampai kepada mereka[12] suatu berita[13] tentang keamanan[14] ataupun ketakutan[15], mereka langsung menyiarkannya[16]. Padahal apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[17] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu[18], tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)[19].
84.[20] Maka berperanglah kamu di jalan Allah, kamu tidaklah dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri[21]. Kobarkanlah semangat orang-orang beriman (untuk berperang)[22]. Mudah-mudahan Allah menolak (mematahkan) serangan orang-orang yang kafir itu[23]. Allah sangat besar kekuatan(-Nya) dan sangat keras siksaan(-Nya)[24].
Ayat 85-86: Menerangkan hukum tentang syafaat dalam hal yang baik dan yang buruk, dan hukum salam
85. Barang siapa yang memberikan syafa’at yang baik[25], niscaya dia akan memperoleh bagian dari (pahala)nya. Dan barang siapa memberi syafa’at yang buruk[26], niscaya dia akan memikul bagian dari (dosa)nya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu[27].
86. Apabila kamu diberi penghormatan[28] dengan suatu (salam) penghormatan[29], maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik[30], atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)[31]. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu[32].
[1] Ketaatan tersebut harus dilakukan oleh zhahir maupun batin, di hadapan manusia maupun ketika sembunyi. Adapun orang yang menampakkan ketaatan di hadapan manusia, namun ketika sendiri atau bersama kawan-kawan yang sepertinya, ia tidak taat dan mengerjakan hal yang sebaliknya, maka sesungguhnya ketaatan yang ditampakkan itu tidaklah bermanfaat dan tidaklah berfaedah, mereka ini sama seperti orang-orang yang disebutkan dalam ayat 81 selanjutnya.
[2] Hal itu, karena Beliau tidaklah memerintah dan melarang kecuali dengan perintah Allah dan wahyu-Nya. Dalam ayat ini terdapat dalil kema’shuman Beliau (terjaganya dari kesalahan), karena Allah memerintahkan kita menaati Beliau secara mutlak. Jika Beliau tidak ma’shum dalam semua yang disampaikan dari Allah, tentu kita tidak diperintahkan menaatinya secara mutlak.
[3] Kamu (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan mereka dan tidak menjamin agar mereka tidak berbuat kesalahan. Kamu hanyalah pemberi peringatan dan kepada Allah-lah urusan mereka. Oleh karena itu, janganlah kamu dibuat risau, baik mereka mendapatkan petunjuk atau pun tidak.
[4] Yakni ketika berada di hadapanmu.
[5] Dan berada dalam keadaan yang tidak diketahui oleh orang lain.
[6] Beralih dari ketaatan kepada maksiat.
[7] Dan akan memberikan balasan kepada mereka. Di ayat ini terdapat ancaman terhadap mereka.
[8] Yakni biarkanlah mereka dan bertawakkallah kepada Allah, karena mereka tidak dapat menimpakan bahaya apa-apa ketika kamu bertawakkal kepada Allah.
[9] Sesungguhnya mentadabburi kitab Allah merupakan kunci bagi semua ilmu, dengannya diperoleh semua kebaikan dan daripadanya digali berbagai macam ilmu, dan dengannya bertambah keimanan di hati. Semakin bertambahnya tadabbur seseorang terhadap Al Qur’an, maka semakin bertambah pula ilmu, amal dan bashirah (ketajaman pandangan)nya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita mentadabburi firman-Nya dan memberitahukan bahwa untuk itulah Al Qur’an diturunkan, Allah berfirman, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Terj. Shaad: 29).
Di antara faedah mentadabburi kitab Allah adalah seseorang dapat mencapai derajat yakin, mengetahui bahwa kitab tersebut adalah firman Allah, karena ayat yang satu dengan yang lain bersesuaian dan saling membenarkan. Kita dapat melihat tentang hukum, kisah dan berita yang diulang di beberapa tempat dalam Al Qur’an, semuanya sesuai dan saling membenarkan; tidak saling membatalkan. Dengan ini dapat diketahui kesempurnaan Al Qur’an dan bahwa ia berasal dari Allah Yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.
[10] Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Umar bin Khaththab, ia berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhi istri-istrinya, aku pun masuk ke masjid ternyata orang-orang sedang melempari kerikil dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mentalak istri-istrinya.” Hal itu terjadi ketika mereka belum diperintahkan berhijab. Umar berkata, “Saya akan beritahukan hal itu hari ini.” Maka saya menemui Aisyah dan berkata, “Wahai puteri Abu Bakar, apakah engkau sampai menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Aisyah menjawab, “Apa urusanmu terhadapku wahai Ibnul Khaththab, urusilah aibmu sendiri.” Umar berkata, “Maka saya menemui Hafshah binti Umar dan berkata kepadanya, “Wahai Hafshah! Apakah engkau sampai menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah, sesungguhnya saya tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukaimu. Kalau bukan karena saya, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mentalakmu.” Hafshah pun menangis dengan tangisan yang begitu serius. Saya pun bertanya kepadanya, “Di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab, “Dia sedang berada di dekat lemarinya di kamar.” Saya pun masuk, ternyata saya menemui Ribah pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk di palang (kayu bawah) pintu kamar sambil memanjangkan kakinya di atas kayu berlubang, yaitu batang pohon kurma yang dipakai tangga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk naik dan turun. Ribah melihat ke kamar, lalu melihatku dan tidak berkata apa-apa, kemudian saya keraskan suara sambil berkata, “Wahai Ribah, izinkan saya di bersamamu untuk menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena saya mengira bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengira bahwa saya datang karena Hafshah. Demi Allah, jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku memenggal lehernya, tentu saya penggal lehernya.” Saya keraskan suara saya. Ia pun berisyarat kepadaku agar masuk kepadanya, maka saya masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata Beliau sedang berbaring di atas tikar, saya pun duduk, lalu Beliau mendekatkan kainnya dan Beliau tidak mengenakan apa-apa selain itu. Ketika itu, tikarnya membekas pada rusuk Beliau. Saya melihat dengan mata saya lemari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata di sana terdapat segenggam gandum seukuran satu shaa’ (4 mud/kaupan), demikian juga daun salam di pojok kamar serta ada kulit yang digantungkan. Saya pun meneteskan air mata, lalu Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai Ibnul Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabi Allah, mengapa saya tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas pada rusukmu. Sedangkan lemarimu tidak menyimpan apa-apa selain yang saya lihat. Berbeda dengan Kaisar dan Kisra yang memperoleh banyak buah dan berada di dekat sungai yang mengalir. Sedangkan engkau utusan Allah dan pilihan-Nya dengan keadaan lemari seperti ini.” Beliau bersabda, “Wahai Ibnul Khaththab, tidakkah kamu ridha, untuk kita akhirat dan untuk mereka dunia?” Saya menjawab, “Ya.” Ketika saya masuk menemuinya, saya melihat tampak marah di mukanya, maka saya berkata, “Wahai Rasulullah, para istri tidak akan menyusahkan dirimu. Jika engkau mentalak mereka, maka sesungguhnya Allah bersamamu, demikian pula, malaikat-Nya, Jibril, Mikail, saya, Abu Bakar, dan kaum mukmin bersamamu. ” Saya tidaklah berbicara –wal hamdulillah- kecuali saya berharap agar dibenarkan oleh Allah. Ketika itu turunlah ayat takhyir (pemberian pilihan),
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, Maka Sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. —Jika Nabi menceraikan kamu, boleh Jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh,…dst.”(Terj. At Tahrim: 4-5)
Ketika itu Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah saling bantu-membantu menyusahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap istri-istri yang lain. Saya pun berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau mentalak mereka?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya masuk ke masjid sedangkan kaum muslimin sedang melempari kerikil sambil berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mentalak istri-istrinya.” Bolehkah saya turun agar saya memberitahukan mereka bahwa Engkau tidak mentalak mereka?” Beliau menjawab, “Ya, jika engkau mau.” Saya senantiasa berbicara dengan Beliau sampai hilang marah dari mukanya dan sampai Beliau memperlihatkan giginya dan tersenyum, dan Beliau adalah orang yang paling bagus giginya. Nabi Allah pun turun dan aku turun bersandar dengan batang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun tampak seperti berjalan di tanah, di mana Beliau tidak menyentuhnya (batang tersebut) dengan tangannya, lalu saya berkata, “Wahai Rasulullah, Engkau berada di kamar hanya 29 hari?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebulan itu 29 hari.” Saya pun berdiri di pintu masjid dan menyeru dengan suara keras, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mentalak istri-istrinya.” Ketika itu turunlah ayat, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)…dst.” Sayalah yang mengetahui perkara itu, dan Allah menurunkan ayat takhyir (pilihan).
[11] Ayat ini merupakan pengajaran adab dari Allah kepada hamba-hamba-Nya terhadap perbuatan yang tidak patut mereka lakukan, dan sepatutnya bagi mereka ketika sampai masalah-masalah penting yang terkait dengan masalah umum, seperti terkait dengan keamanan, kegembiraan dan kekhawatiran yang di sana terdapat musibah bagi mereka untuk menahan diri dengan tidak segera menyampaikan berita itu, bahkan menyampaikan terlebih dulu kepada rasul dan ulil amri (para ulama dari kalangan sahabat atau orang yang memiliki pandangan tepat), di mana mereka mengetahui hal yang lebih bermaslahat. Mereka (rasul dan ulil amri) nanti akan memperhatikan berita itu, apakah jika disebarluaskan ada maslahatnya dan dapat menyemangatkan kaum muslimin serta menggembirakan mereka ataukah tidak ada maslahatnya, atau ada maslahatnya namun madharatnya lebih besar daripada maslahatnya, sehingga berita itu tidak disebarluaskan.
[12] Kaum munafik atau orang-orang yang lemah iman.
[13] Seperti berita tentang sariyyah (pasukan kecil) yang dikirim Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[14] Yakni kemenangan.
[15] Yakni kekalahan.
[16] Sehingga membuat lemah hati kaum mukmin dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri merasa tersakiti.
[17] Yakni kepada Rasul dan tokoh-tokoh sahabat atau ulama di antara mereka. Dalam ayat ini terdapat dalil terhadap kaidah adab, yaitu apabila diperlukan pembahasan tentang suatu masalah, maka sepatutnya masalah tersebut diserahkan kepada ahlinya, tidak disodorkan kepada yang lain, hal itu karena yang demikian lebih dekat kepada kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Demikian pula menunjukkan dilarangnya bersikap tergesa-gesa menyebarkan apa yang didengarnya dan perintah untuk memperhatikan perkara itu, apakah ada maslahatnya sehingga ia pun perlu maju atau tidak, sehingga perlu ditahan.
[18] Yakni taufiq, pengajaran adab dan ilmu yang diajarkan-Nya kepada kamu yang sebelumnya tidak kamu ketahui.
[19] Karena manusia pada tabi’atnya zalim dan jahil (bodoh), hawa nafsunya biasa menyuruh kepada keburukan. Namun apabila seseorang kembali kepada Tuhannya dan bersandar kepada-Nya, maka Allah akan berbuat lembut kepadanya, memberinya taufiq kepada semua kebaikan dan melindunginya dari godaan setan yang terkutuk.
[20] Keadaan ini merupakan keadaan hamba yang paling utama, yakni seorang hamba mengusahakan dirinya untuk menjalankan perintah Allah, baik jihad maupun lainnya, serta mendorong yang lain untuk melakukannya. Namun terkadang seorang hamba ada yang tidak melakukan kedua-duanya atau hanya salah satunya.
[21] Yakni kamu tidak berkuasa apa-apa terhadap selain dirimu dan kamu tidak dibebani terhadap perbuatan selain kamu. Ayat ini berhubungan dengan keengganan sebagian besar kaum muslimin Madinah untuk ikut berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Badar Shughra. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan agar Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap berangkat meskipun sendiri saja dan tidak perlu memikirkan mereka. Allah pun menolak serangan orang-orang yang kafir dengan menaruh rasa takut di hati mereka dan Abu Sufyan sendiri enggan untuk keluar (kisah lebih luasnya sudah disebutkan dahulu dalam tafsir surat Ali Imran).
[22] Hal ini mencakup segala sesuatu yang dapat menyemangatkan kaum mukmin dan menguatkan hati mereka, seperti meneguhkan pendirian mereka dengan kata-kata dan nasehat, memberitahukan lemahnya musuh, menyampaikan janji Allah berupa pahala kepada para mujahid, akibat yang didapatkan bagi orang-orang yang tidak berperang, dsb. ini semua termasuk ke dalam menyemangatkan kaum muslimin untuk berperang.
[23] Dengan jihad fi sabilillah yang kalian lakukan dan penyemangatan satu dengan yang lain.
[24] Jika Allah Ta’ala menghendaki, tentu Dia akan mengalahkan orang-orang kafir dengan kekuatan-Nya dan tidak menyisakan mereka. Akan tetapi, karena hikmah (kebijaksanaan) Allah, Dia menguji sebagian hamba-Nya dengan yang lain agar tergak jihad fii sabilillah dan tercapai iman yang bermanfaat; yaitu iman atas dasar pilihan, bukan karena terpaksa yang tidak ada manfaatnya.
[25] Syafa’at (pertolongan) yang baik adalah setiap syafa’at yang ditujukan untuk melindungi hak seorang Muslim atau menghindarkannya dari suatu kemadharatan. Barang siapa yang memberikan syafaat yang baik kepada orang lain, misalnya membantunya agar dapat menjalankan kebaikan, maka ia akan memperoleh bagian pahalanya sesuai amalnya, bantuan yang diberikan dan manfaatnya, tanpa dikurangi sedikit pun. Sebaliknya, barang siapa yang membantu orang lain agar dapat melakukan keburukan, maka dia menanggung dosa sesuai bantuan yang diberikannya. Dalam ayat ini terdapat dorongan untuk tolong-menolong di atas kebaikan dan ketakwaan dan larangan tolong menolong di atas dosa dan permusuhan.
[26] Syafa’at yang buruk ialah kebalikan syafa’at yang baik.
[27] Ada yang mengartikan dengan arti, “Allah Maha Menyaksikan, Menjaga dan Memperhitungkan segala sesuatu”, oleh karena itu, Dia akan membalas masing-masingnya secara layak.
[28] Tahiyat atau penghormatan adalah lafaz yang diucapkan oleh salah seorang ketika bertemu dengan yang lain sebagai penghormatan dan doa, termasuk pula perkara lain yang terkait dengan lafaz itu berupa muka yang berseri-seri dsb. Tahiyat yang paling tinggi adalah tahiyat yang disebutkan syara’, berupa ucapan salam yang dilakukan ketika memulai dan menjawab. Ayat di atas memerintahkan kita ketika diucapkan salam penghormatan untuk menjawab dengan yang lebih baik atau sepadan. Mafhum ayat di atas adalah larangan tidak menjawab sama sekali atau menjawab yang kurang (tidak sepadan). Termasuk menjawab salam penghormatan adalah menjawab segala ucapan penghormatan yang biasa diucapkan manusia, selama ucapan tersebut tidak terlarang secara syara’ dan tidak melupakan atau mengganti ucapan salam.
[29] Misalnya diucapkan kepadamu “As Salaamu ‘alaikum”.
[30] Seperti “Wa ‘alaikumus salaam wa rahmatullah wa barakaatuh”.
[31] Yakni sampai “Wa ‘alaikumus salam” saja, meskipun yang utama adalah menjawab lebih. Namun tidak dijawab salam dari orang kafir, ahli bid’ah, orang fasik (hal itu, karena yang demikian bertentangan dengan maslahat yang lebih besar), demikian pula tidak jawab orang yang mengucapkan salam kepada orang yang buang air, kepada orang yang berada di kamar mandi dan kepada orang yang sedang makan, bahkan makruh menjawabnya selain yang terakhir, yakni jika salamnya ditujukan kepada orang yang sedang makan, maka tidak makruh menjawabnya. Adapun salam dari orang kafir, jawabannya adalah “Wa ‘alaikum” saja.
Ayat di atas juga menunjukkan anjuran memulai salam, namun tidak ditujukan kepada orang yang sedang dalam keadaan yang tidak diperintahkan memberi salam, seperti ketika sibuk membaca Al Qur’an, mendengarkan khutbah, sedang shalat dsb.
[32] Oleh karena itu, Dia menjaga semua amalan hamba-Nya, yang baik maupun yang buruk, besar maupun kecil dan akan memberikan balasan terhadapnya sesuai yang dikehendaki oleh karunia-Nya, keadilan-Nya dan hukum-Nya yang terpuji.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat An Nisa', Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.
0 komentar
Posting Komentar