Tafsir Al Qur'an Surat Al Maidah Ayat Yang Ke: 94, 95, 96, 97, 98, 99 ,100, 101, Dan 102.
Ayat berikut ini menerangkan tentang haramnya berburu binatang orang yang sedang ihram, hukuman dan denda orang yang membunuh hewan buruan, pengertian hadyu dan kaffarat, dalil tentang halalnya hewan buruan laut ataupun makanan yang berasal dari air: laut, kolam, danau, dan sebagainya.
Rahasia Alllah menjadikan Ka'bah sebagai tempat suci, bulan haram: Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Lalu menerangkan tentang larangan untuk menayakan hal-hal yang tidak bermanfaat dan justru dapat menimbulkan kesusahan, dll.
Untuk membaca tafsir ayat sebelumnya, silahkan klik disini.
Ayat 94-96: Hukum berburu di tanah haram dan kehormatan bulan-bulan haram
94. Wahai orang-orang yang beriman! Allah pasti akan menguji kamu dengan hewan buruan yang dengan mudah kamu peroleh dengan tangan dan tombakmu[1] agar Allah mengetahui siapa yang takut kepada-Nya, meskipun dia tidak melihat-Nya. Barang siapa melampaui batas setelah itu[2], maka dia akan mendapat azab yang pedih.
95. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh hewan buruan[3], ketika kamu sedang ihram (haji atau umrah). Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja[4], maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang adil[5] di antara kamu sebagai hadyu[6] yang dibawa ke Ka’bah,[7] atau kaffarat (membayar tebusan) dengan memberi makan kepada orang-orang miskin,[8] atau berpuasa, seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu[9], agar dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu[10]. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Mahaperkasa lagi memiliki (kekuasaan untuk) menyiksa.
96. Dihalalkan[11] bagimu hewan buruan laut[12] dan makanan (yang berasal) dari laut[13] sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) hewan buruan[14] darat, selama kamu sedang ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (kembali)[15].
Ayat 97-100: Hikmah ilahi menjadikan Ka’bah sebagai rumah suci dan bagaimana ia menjadi timbangan tegaknya kehidupan manusia
97. Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci tempat manusia berkumpul[16]. Demikian pula bulan Haram[17], had-yu[18] dan qalaid[19]. Yang demikian itu agar kamu mengetahui, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
98. Ketahuilah, bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya dan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[20].
99. Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (amanat Allah)[21], dan Allah mengetahui apa yang kamu tampakkan dan apa yang kamu sembunyikan.
100. Katakanlah (Muhammad)[22], “Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik[23], meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu[24], maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang mempunyai akal sehat[25], agar kamu beruntung[26].”
Ayat 101-102: Larangan banyak bertanya tentang hal yang tidak bermanfaat dalam agama dan yang menyebabkan timbulnya kesusahan
101.[27] Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, justru menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya ketika Al Quran diturunkan[28], niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu[29]. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun[30].
102. Sesungguhnya sebelum kamu telah ada segolongan manusia yang menanyakan hal-hal serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian mereka menjadi kafir[31].
[1] Allah menguji kaum muslimin yang sedang mengerjakan ihram dengan melepaskan binatang-binatang buruan, sehingga mudah ditangkap.
[2] Dengan melakukan pemburuan.
[3] Dikecualikan daripadanya burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing buas berdasarkan As Sunnah. Dalam sebuah riwayat, termasuk juga ular. Larangan membunuh mencakup pula larangan terhadap mukaddimah(pengantar)nya, ikut serta membunuh, menunjukkan dan membantu membunuh. Lebih dari itu, seseorang yang ihram dilarang pula memakan hewan yang dibunuh atau diburu karena sebabnya. Ini semua merupakan sikap penghormatan terhadap ibadah yang agung ini.
[4] Namun demikian, denda ini berlaku pula untuk orang yang tidak sengaja, karena kaidah syar’i menetapkan bahwa jiwa atau harta yang terpelihara jika dibinasakan harus diganti bagaimana pun keadaannya. Hanya saja untuk orang yang tidak sengaja tidak terancam hukuman.
[5] Yakni dua orang yang mengerti hukum dan dapat memperkirakan dengan tepat pengganti binatang yang diburu itu. Contohnya adalah, jika burung unta yang dibunuh, maka dendanya adalah unta, jika yang diburu adalah sapi liar atau keledai liar, maka dendanya sapi, dan jika kijang yang diburu, maka dendanya kambing, demikian juga jika yang diburu adalah burung merpati dendanya adalah kambing. Tetapi jika binatang yang diburu itu tidak sebanding dengan binatang ternak, misalnya belalang, maka diperkirakan berapa harganya, kemudian uang itu disedekahkan.
[6] Ialah binatang (unta, sapi, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka’bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih di tanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadah haji.
[7] Yang dibawa sampai ke daerah Haram untuk disembelih di sana dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
[8] Yakni makanan pokok daerah setempat yang sesuai jumlahnya dengan harga binatang ternak yang menjadi pengganti binatang yang dibunuhnya itu, dan masing-masing orang miskin mendapat satu mud dari makanan tersebut. Mayoritas para ulama berkata, “Hewan yang dijadikan pengganti hewan yang dibunuh dinilai berapa harganya, setelah itu uangnya digunakan untuk membeli makanan, lalu ia berikan kepada setiap orang miskin satu mud bur/gandum atau setengah sa’ (2 mud) jika makanan lainnya.”
[9] Yaitu puasa yang jumlah harinya sebanyak mud yang diberikan kepada fakir miskin, di mana seorang fakir miskin mendapat satu mud.
Ali bin Thalhah berkata: Dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang ayat, “Sebagai hadyu yang dibawa ke Ka’bah, atau kaffarat (membayar tebusan) dengan memberi makan kepada orang-orang miskin, atau berpuasa, seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu,” yaitu apabila seorang yang berihram membunuh binatang buruan, maka dihukumi demikian. Oleh karena itu, jika ia membunuh seekor kijang atau sejenisnya, maka ia wajib menyembelih seekor kambing yang disembelih di Mekah. Jika tidak memperolehnya, maka dengan memberi makan enam orang miskin. Jika tidak memperolehnya, maka dengan berpuasa tiga hari. Jika ia membunuh rusa atau sejenisnya, maka ia wajib menyembelih seekor sapi, jika tidak memperolehnya, maka dengan memberi makan dua puluh orang miskin, dan jika tidak memperolehnya, maka dengan berpuasa dua puluh hari. Jika ia membunuh seekor burung unta, keledai liar atau sejenisnya, maka ia wajib menyembelih seekor unta. Jika tidak memperolehnya, maka dengan memberi makan 30 orang miskin, dan jika tidak memperolehnya, maka dengan berpuasa selama tiga puluh hari.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir, dan Ibnu Jarir menambahkan, “Makanan itu satu mud (untuk seorang miskin), yaitu mud yang mengenyangkan mereka.”).
Dilihat dari zhahir ayat 95 surat Al Maa’idah, ayat tersebut memakai kata “او ” (atau) yang menunjukkan bahwa orang yang membunuh binatang buruan itu diberikan takhyir/pilihan antara menyembelih binatang ternak yang seimbang atau memberi makan orang miskin atau berpuasa. Wallahu a’lam.
[10] Maksudnya membunuh hewan sebelum turun ayat yang melarang ini.
[11] Baik dalam keadaan ihram maupun tidak.
[12] Yakni hewan yang tidak hidup kecuali di air seperti ikan, berbeda dengan hewan yang hidup di air dan di darat seperti kepiting. Maksud ayat ini adalah hewan buruan laut yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat dan sebagainya adalah halal. Termasuk dalam pengertian laut di sini adalah sungai, danau, kolam dan sebagainya.
[13] Maksudnya ikan atau binatang laut yang diperoleh dengan mudah, karena telah mati terapung atau terdampar di pantai dan sebagainya.
[14] Hewan dikatakan sebagai hewan buruan adalah jika sifatnya wahsyi (liar atau tidak jinak), karena jika tidak liar bukanlah hewan buruan. Demikian juga “yang bisa dimakan”, karena yang tidak bisa dimakan bukanlah dinamakan binatang buruan.
[15] Yakni gunakanlah keyakinan bahwa kamu akan dikumpulkan kepada Allah untuk membantu kamu bertakwa.
[16] Ka’bah dan sekitarnya menjadi tempat yang aman bagi manusia untuk mengerjakan urusan-urusannya yang berhubungan dengan duniawi dan ukhrawi, dan menjadi pusat bagi amalan haji. Dengan adanya ka’bah, bulan haram, hadyu dan qalaa’id, kehidupan manusia menjadi tegak, karena di sana terdapat tindakan penarikan berbagai manfaat dan pencegahan berbagai bahaya sebelum terjadinya. Ini semua menunjukkan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan apa yang akan terjadi serta hal yang bermaslahat bagi manusia. Di sana manusia dari beragam bangsa dan bahasa berkumpul, saling kenal-mengenal dan saling bahu-membahu serta bermusyawarah untuk maslahat bersama dan memperbaiki hubungan. Oleh karena Baitullah menjadi tempat berkumpul manusia, berkata sebagian ulama, “Sesungguhnya berhaji ke Baitullah fardhu kifayah pada setiap tahunnya. Jika sampai manusia meninggalkannya, maka berdosalah semua yang mampu. Bahkan, jika manusia meninggalkan haji, maka akan menyingkir penopang hidup mereka dan akan tegak kiamat.”
[17] Maksudnya adalah bulan-bulan Haram, yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Pada bulan-bulan itu dilarang mengadakan peperangan, oleh karenanya manusia merasakan keamanan di bulan-bulan itu.
[18] Lihat footnote ayat 95.
[19] Dengan penyembelihan hadyu dan qalaaid, orang yang berkorban mendapatkan keamanan di samping pahala yang besar, sedangkan orang fakir miskin mendapat bagian dari daging binatang-binatang sembelihan itu.
[20] Hendaknya kedua ilmu ini, yakni mengetahui bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya terhadap orang yang bermaksiat kepada-Nya dan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap orang yang bertobat dan taat kepada-Nya, ada dalam diri seseorang sehingga membuahkan rasa takut terhadap siksa-Nya dan mengharap ampunan dan pahala-Nya serta mengerjakan konsekwensi dari keduanya berupa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
[21] Selain itu, bukanlah tugasnya.
[22] Yakni kepada manusia untuk memperingatkan mereka agar tidak mengerjakan perbuatan buruk dan mendorong mereka agar mengerjakan perbuatan baik.
[23] Tidaklah sama kekafiran dengan keimanan, ketaatan dengan kemaksiatan, amal buruk dengan amal baik, yang haram dengan yang halal, dan penghuni neraka dengan penghuni surga.
[24] Karena ia tidaklah bermanfaat apa-apa bagi pelakunya, bahkan merugikan dirinya baik di dunia maupun di akhirat.
[25] Karena merekalah yang masih bisa diharapkan kebaikannya.
[26] Ayat ini menerangkan bahwa keberuntungan hanya bisa didapat dengan ketakwaan, barang siapa yang meninggalkan ketakwaan, maka ia akan mendapatkan kerugian dan hilangnya keberuntungan.
[27] Ayat ini turun ketika para sahabat banyak bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara-perkara yang jika diterangkan kepada mereka, tentu akan memberatkan mereka dan membuat mereka sedih. Misalnya pertanyaan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keadaan nenek moyang mereka apakah di surga atau di neraka. Pertanyaan seperti ini tidak ada kebaikannya bagi mereka, termasuk juga pertanyaan yang tidak terjadi. Demikian juga pertanyaan yang mengakibatkan beban-beban berat dalam syari’at, pertanyaan yang tidak berguna, dsb. namun jika lepas dari semua ini, maka pertanyaan tersebut disyari’atkan.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan khutbah yang belum pernah saya dengar sebelumnya, Beliau bersabda, “Jika sekiranya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, tentu kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Maka para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup muka mereka dengan menangis sedih, lalu ada seorang sahabat yang bertanya, “Siapakah bapak saya?” Beliau menjawab, “Si fulan.” Maka turunlah ayat ini, “Laa tas’aluu ‘an asy-yaa’a in tubda lakum tasu’kum…dst.”
Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Beberapa orang ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil bercanda. Ada yang bertanya, “Siapa bapak saya?” ada pula seorang yang kehilangan untanya berkata, “Di mana unta saya?” maka Allah menurunkan ayat, “Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa tas’aluu ‘an asy-yaa’a in tubda lakum tasu’kum…dst.”
Thabari meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah kepada kami dan bersabda, “Wahai manusia! Allah mewajibkan kamu berhaji.” Lalu Mihshan Al Asadiy bangkit dan bertanya, “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya jika aku mengatakan “Ya.” Tentu wajib dilakukan (setiap tahun). Jika sudah wajib, lalu kamu meninggalkannya tentu kamu akan tersesat. Diamlah terhadap apa yang aku diamkan, karena binasanya orang-orang sebelum kamu adalah karena pertanyaan mereka dan menyelisihi para nabi.” Maka Allah menurunkan ayat, “Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa tas’aluu ‘an asy-yaa’a in tubda lakum tasu’kum…dst.”
[28] Yakni pertanyaan yang diajukan pada tempatnya, seperti ketika Al Qur’an diturunkan, dengan bertanya tentang maksud ayat yang masih musykil atau hukum yang masih samar dalam waktu yang masih mungkin diturunkan wahyu, maka akan diterangkan kepada kamu. Jika tidak demikian, maka hendaklah diam terhadap sesuatu yang didiamkan Allah Ta’ala.
[29] Oleh karena itu, jangan kamu ulangi. Atau maksudnya, Allah memaafkan tentang hal-hal yang didiamkan-Nya.
[30] Dia senantiasa memiliki sifat mengampuni, terkenal santun dan ihsan, oleh karena itu mintalah ampunan dan ihsan-Nya, dan carilah rahmat dan keridhaan-Nya.
[31] Maksudnya setelah diterangkan kepada mereka perkara yang mereka tanyakan itu, mereka tidak menaatinya, kemudian mereka menjadi kafir. Dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Hadits ini menunjukkan larangan bertanya tentang hal yang tidak dibutuhkannya, demikian juga menunjukkan larangan bertanya dengan maksud ta’annut/takalluf (membebani diri), main-main dan melecehkan.” Oleh karena itu, Zaid bin Tsabit jika ditanya tentang sesuatu ia berkata, “Apakah ini benar terjadi?” Jika mereka mengatakan, “Tidak” maka Zaid bin Tsabit mengatakan, “Tinggalkanlah (pertanyaan itu) sampai benar-benar terjadi.”
Banyak bertanya tidaklah menunjukkan baiknya keadaan agama seseorang, dan tidak menunjukkan kewara’annya. Adapun bertanya tentang Al Qur’an atau hadits dalam arti ingin memahami maksudnya, maka tidak mengapa (termasuk juga bertanya tentang hal yang benar-benar terjadi), lain halnya bertanya tentang masalah yang tidak ada habis-habisnya maka dalam hal ini seharusnya dihindari dan dijauhi. Dalam hadits tersebut terdapat isyarat agar kita menyibukkan diri dengan perkara yang lebih penting; yang dibutuhkan saat itu daripada perkara yang saat itu belum dibutuhkan.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat Al Maidah, Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.
0 komentar
Posting Komentar