Tafsir Al Qur'an Surat Al Anfaal Ayat yang ke: 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, dan 75.
Ayat berikut menerangkan tentang persatuan orang-orang yang beriman, perlindungan dan pertolongan dari-Nya. Targhib & tarhib: dorongan untuk berjihad dan ancaman meninggalkannya, lalu menyebutkan keutamaan untuk berjihad, keberanian dan kesabaran, serta bahaya sikap penakut. Pentingnya musyawarah, berlakunya ijtihad dalam permasalahan tawanan perang, keutamaan-keutamaan kaum Muhajirin dan Kaum Ansor. Lalu menerangkan tentang masalah waris: orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat lebih berhak daripada yang bukan kerabat (meskipun sudah menjadi saudara dekat).
Baca juga: Tafsir Al Anfaal Ayat 52-61
Ayat 62-66: Penyatuan umat, pertolongan Allah kepada Rasul-Nya, serta dorongan untuk berperang
62. Dan jika mereka hendak menipumu[1], maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu. Dialah yang memberikan kekuatan kepadamu dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin,
63. Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman)[2]. Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka[3]. Sungguh, Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
64. Wahai Nabi (Muhammad)! Cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan (cukuplah bagimu) orang-orang mukmin yang mengikutimu[4].
65. Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang[5]. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir[6], karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti[7].
66.[8] Sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika ada di antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang (musuh); dan jika di antara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah[9]. Allah beserta orang-orang yang sabar[10].
67.[11] Tidaklah pantas, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan[12] sebelum dia dapat melumpuhkan[13] musuhnya di bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi[14] sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)[15]. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana[16].
Ayat 68-71: Musyawarah termasuk nikmat yang sempurna lagi penting, berlakunya ijtihad dalam masalah tawanan perang dan pengaruhnya bagi jiwa, serta bolehnya memakan harta ghanimah
68.[17] Sekiranya tidak ada ketetapan terdahulu dari Allah[18], niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena (tebusan) yang kamu ambil.
69. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai makanan yang halal lagi baik[19], dan bertakwalah kepada Allah[20]. Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[21].
70.[22] Wahai Nabi (Muhammad)! Katakanlah kepada para tawanan perang yang ada di tanganmu, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan di dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan yang lebih baik dari apa (tebusan) yang telah diambil darimu[23] dan Dia akan mengampuni kamu[24].” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
71. Tetapi jika mereka (tawanan itu) hendak mengkhianatimu (Muhammad)[25] maka sesungguhnya sebelum itu pun mereka telah berkhianat kepada Allah[26], lalu Dia memberikan kekuasaan kepadamu atas mereka[27], Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Ayat 72-75: Keutamaan kaum muhajirin di atas selain mereka, keutamaan kaum Anshar ketika mereka memberikan tempat dan pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahwa kekafiran sama keadaan agamanya, serta pembatalan kewarisan jika tertuju kepada selain kerabat
72.[28] Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah[29] dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi pertoIongan (kepada muhajirin)[30], mereka itu satu sama lain saling melindungi[31]. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka berhijrah[32]. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama[33], maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka[34]. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan[35].
73. Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka melindungi sebagian yang lain[36]. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah (saling melindungi)[37], niscaya akan terjadi kekacauan di bumi dan kerusakan yang besar[38].
74.[39] Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman[40]. Mereka memperoleh ampunan[41] dan rezeki (nikmat) yang mulia[42].
75. Dan orang-orang yang beriman setelah itu[43], kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka mereka termasuk golonganmu[44]. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)[45] menurut kitab Allah[46]. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
[1] Dengan mengadakan perdamaian agar mereka dapat bersiap-siap memerangimu.
[2] Penduduk Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah selalu bermusuhan dan setelah mereka masuk Islam, permusuhan itu hilang (lihat pula surat Ali Imran: 103).
[3] Dengan qudrat (kekuasaan)-Nya, karena tidak ada yang mampu membolak-balikkan hati selain Dia.
[4] Yakni Allah Subhaanahu wa Ta’aala akan menjadikan kaum mukmin membela Beliau.
[5] Seperti mennyampaikan targhib dan tarhib; yakni dorongan untuk berjihad dan ancaman meninggalkannya, menyebutkan keutamaan jihad, keberanian dan kesabaran, serta bahaya sikap penakut, dan bahwa sikap itu termasuk akhlak yang hina yang mengurangi agama dan kehormatan, dsb.
[6] Ayat ini meskipun berupa khabar (berita), namun sesungguhnya mengandung perintah, yakni hendaknya dua puluh orang di antara kamu tidak mundur menghadapi dua ratus orang musuh, dan seratus orang di antara kamu tidak mundur menghadapi seribu orang musuh serta tetap teguh melawan mereka. Menurut Al Baghawi, hal ini berlaku pada perang Badar, yakni Allah mewajibkan seorang dari kaum mukmin untuk melawan sepuluh orang musyrik, namun kemudian yang demikian terasa berat bagi kaum mukmin, maka Allah meringankan mereka dengan menurunkan ayat selanjutnya.
Perintah ini namun bentuknya khabar (berita) terdapat rahasia di dalamnya, yaitu untuk menguatkan hati kaum mukmin, dan memberikan kabar gembira, bahwa jika mereka bersabar, maka mereka akan menang.
[7] Maksudnya mereka tidak mengerti bahwa perang itu seharusnya untuk membela keyakinan dan menaati perintah Allah. mereka berperang hanya semata-mata mempertahankan tradisi Jahiliyah dan maksud-maksud duniawi lainnya. Mereka juga tidak mengetahui, bahwa Allah telah menyiapkan pahala yang besar untuk para mujahid, sedangkan mereka berperang hanya ingin bersikap sombong dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka juga tidak mengetahui, bahwa kaum mukmin memiliki pendorong kuat untuk berperang, untuk meninggikan kalimatullah, meninggikan dan membela agama-Nya, serta untuk memperoleh kenikmatan yang sesunguhnya, yaitu surga.
[8] Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika turun ayat, “Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” Yang demikian memberatkan mereka (kaum muslimin) ketika seorang diri diwajibkan untuk tidak melarikan diri dari sepuluh orang, maka datanglah keringanan. Allah Ta’ala berfirman, “Sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika ada di antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang (musuh);…dst.”
[9] Ayat ini pun sama, khabar (berita) namun maksudnya adalah perintah, yakni perintah agar tetap menghadapi musuh dan tidak mundur ketika mereka berjumlah dua kali lipat. Jika lebih dari dua kali lipat, barulah dibolehkan mundur.
[10] Dengan pertolongan-Nya.
[11] Ayat ini turun ketika mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat) mengambil tebusan dari para tawanan perang Badar. Hakim meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan Abu Bakar untuk menyikapi para tawanan. Abu Bakar berkata, ”Mereka adalah kaummu dan keluargamu, maka lepaskanlah.” Lalu Beliau bermusyawarah dengan Umar, ia berkata, “Bunuhlah mereka.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tebusan dari mereka, maka Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Maa kaana linabiyyin…dst. Sampai ayat, “Fa kulu mimmaa ghanimtum halaalan thayyibaa.” (Al Anfal: 67-69). Ibnu Umar berkata, “Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Umar dan berkata, “Hampir saja kami ditimpa azab karena menyelisihimu.” (Hadits ini shahih isnadnya, menurut Adz Dzahabi sesuai syarat Muslim).
[12] Padahal mereka menginginkan agar cahaya Allah padam dan berusaha menghancurkan agama-Nya. Mereka menginginkan agar Allah tidak disembah dan agar yang disembah adalah selain-Nya. Mereka menginginkan agar kezaliman dan kemaksiatanlah yang menguasai dunia, dan tidak suka kalau keadilan dan ketaatan yang menguasai dunia. Mereka suka jika bumi ini rusak dan tidak suka diperbaiki. Oleh karenanya, mereka patut dilumpuhkan.
[13] Yakni menghabisi.
[14] Dengan mengambil tebusan itu, bukan menginginkan maslahat untuk agama kamu.
[15] Dengan mengunggulkan agama-Nya, memenangkan para wali-Nya, dan menjadikan mereka berada di atas yang lain. Oleh karena itu, Dia memerintahkan sesuatu yang dapat mencapai kepadanya. Namun ayat ini dimansukh dengan surat Muhammad ayat 4.
[16] Keperkasaan-Nya sempurna, jika Dia menghendaki, Dia mampu memberikan kemenangan terhadap orang-orang kafir tanpa melalui peperangan, akan tetapi Dia Mahabijaksana, Dia menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain.
[17] Thayalisi meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, “Ketika perang Badar, orang-orang segera mendatangi ghanimah dan mengambilnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ghanimah tidaklah halal bagi seorang yang berkepala (berambut) hitam selain kamu.” Oleh karena itu, (dahulu) nabi dan para sahabatnya apabila mendapatkan ghanimah, mereka mengumpulkannya, lalu turunlah api memakannya, maka Allah menurunkan ayat ini, “Laulaa kitaabum minallah…dst.” (Al Anfaal: 68-69). Hadits ini diriwayatkan pula oleh Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits hasan shahih”, dan Ibnul Jariud hal. 368, penta’liq kitab tersebut berkata, “Diriwayatkan pula oleh Ahmad, Nasa’i, Ibnu Hibban hal. 402 dari Mawaarid, Ibnu Jarir juz 10 hal. 46, Ibnu Abi Hatim juz 4 hal. 20, Baihaqi juz 6 hal. 290, dan Thahawi dalam Musykilul Atsar juz 4 hal. 292.”
Imam Hakim meriwayatkan dari Khaitsamah, ia berkata, “Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu pernah berada dalam sebuah rombongan, lalu mereka menyebut-nyebut Ali dan memakinya, maka Sa’ad berkata, “Sabar dulu terhadap para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kami memperoleh dunia bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Laulaa kitaabum minallah sabaqa lamassakum fiimaa akhadztum ‘adzaabun ‘azhiim.” (Al Anfal: 68), saya berharap rahmat dari sisi Allah datang mendahului untuk kita.” Lalu sebagian mereka berkata, “Demi Allah, sesunguhnya dia membencimu dan menamaimu sebagai Akhnas (kutu).” Maka Sa’ad tertawa sampai terbahak-bahak, kemudian ia berkata, “Bukankah seseorang terkadang marah kepada saudaranya dalam masalah yang terjadi antara dia dengan orang lain, lalu ia tidak mau menyampaikan amanahnya.” Dan ia menyebut kata-kata lagi yang lain. (Hadits ini shahih, sesuai syarat Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak menyebutkannya).
[18] Yang menetapkan halalnya ghanimah dan diangkat-Nya azab dari kamu.
[19] Hal ini termasuk kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta’aala terhadap umat ini, karena Dia telah menghalalkan ghanimah untuk mereka, di mana untuk umat sebelum mereka tidak dihalalkan.
[20] Sebagai tanda syukur terhadap nikmat-nikmat-Nya.
[21] Di antaranya adalah dengan membolehkan kamu memakan ghanimah dan menjadikannya halal lagi baik.
[22] Ayat ini turun berkenaan dengan para tawanan perang Badar, yang di antaranya adalah Abbas bin Abdul Muththalib paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika ia diminta menebus dirinya, ia mengaku bahwa dirinya adalah sebagai muslim sebelum peristiwa tersebut, namun mereka (para sahabat) tidak menggugurkan tebusan terhadapnya, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala menurunkan ayat-Nya untuk menenangkan hatinya dan menenangkan hati orang-orang yang semisalnya. Yunus bin Bukair meriwayatkan dari Az Zuhriy dari jama’ah yang ia sebutkan nama mereka, bahwa mereka berkata, “Orang-orang Quraisy mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menebus para tawanan mereka, lalu masing-masing menebus tawanan mereka sesuai yang mereka suka. Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, saya sudah muslim sebelumnya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah lebih mengetahui terhadap keislamanmu. Jika benar seperti yang engkau katakan, maka Allah akan menggantinya. Adapun zahir(luar)mu maka telah kami tawan. Oleh karena itu, tebuslah dirimu dan kedua putera saudaramu, yaitu Naufal bin Harits bin Abdul Muththalib dan ‘Aqil bin Abu Thalib bin Abdul Muththalib; dan sekutumu Utbah bin ‘Amr saudara Bani Harits bin Fihr.” Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada padaku barang (sebagai tebusan).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu di manakah harta yang engkau pendam bersama Ummul Fadhl? Engkau katakan kepadanya, “Jika saya tertangkap dalam perjalananku ini, maka harta yang aku pendam adalah untuk Bani (anak-anak) Fadhl, Abdullah dan Qutsam?” Abbas berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau benar-benar utusan Allah. Sungguh, hal ini tidak ada yang mengetahui selain aku dan Umul Fadhl, maka hargailah aku ini wahai Rasulullah dengan 20 uqiyyah (1 uqiyyah = 40 dirham) dari harta yang ada padaku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, itu adalah sesuatu yang diberikan Allah Ta’ala kepada kami darimu.” Maka Abbas menebus dirinya dan kedua putera saudaranya serta sekutunya. Kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat tentangnya, “Yaa ayyuhan nabiyyu qull liman…dst. sampai “Wallahu ghafuurur rahiim (lihat Al Anfal: 70).” Abbas berkata, “Maka Allah memberikan kepadaku sebagai ganti 20 uqiyyah ketika sudah masuk Islam dengan 20 budak, di mana di tangannya masing-masing ada harta yang digunakan untuk berusaha dengan tetap berharap ampunan dari Allah Azza wa Jalla.”
Al Haafizh Abu Bakar Al Baihaqi meriwayatkan dari Anas bin Malik ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi harta dari Bahrain, lalu Beliau bersabda, “Tebarkanlah harta itu di masjidku.” Anas berkata, “Itu adalah harta yang paling banyak yang pernah diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Beliau pergi untuk shalat dan tidak memperhatikannya. Setelah selesai shalat, Beliau datang dan duduk menghadapnya (kepada harta itu). Tidaklah Beliau melihat seseorang melainkan Beliau berikan harta itu kepadanya. Tiba-tiba Abbas datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, berikanlah kepadaku, karena aku telah menebus diriku dan menebus ‘Aqil.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah.” Ia pun mengeruk ke dalam bajunya, lalu pergi sambil mengangkutnya dan (merasa keberatan) sehinga tidak sangup mengangkut, ia pun berkata, “Suruhlah sebagian mereka untuk mengangkutkan untukku.” Beliau bersabda, “Tidak.” Ia berkata, “Kalau begitu engkau saja yang mengangkutkan untukku.” Beliau bersabda, “Tidak”, ia pun kemudian menebarnya dan mengangkutnya kembali di atas pundaknya, lalu pergi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memperhatikanya sampai ia hilang dari pandangan karena merasa heran terhadap ketamakannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bangun, (kecuali) di sana tinggal satu dirham.” (Imam Bukhari juga meriwayatkannya dalam beberapa tempat di shahihnya secara mu’allaq (tanpa sanad) namun dengan shighat jazm (menunjukkan memang terjadi)),
[23] Dengan memudahkan kepadamu karunia-Nya, di mana hal itu lebih baik dan lebih banyak dari harta yang diambil dari kamu atau Dia akan memberimu pahala di akhirat.
[24] Serta memasukkan kamu ke dalam surga. Allah Subhaanahu wa Ta’aala memenuhi janji-Nya, Dia menjadikan Abbas dan lainnya setelah itu mendapatkan harta yang banyak, bahkan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperoleh harta yang banyak, maka Abbas datang, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya mengambil harta itu dengan bajunya yang bisa diangkut, maka ia mengambilnya dan hampir saja ia tidak mampu mengangkutnya.
[25] Dengan berusaha memerangimu.
[26] Yakni sebelum terjadi perang Badar.
[27] Di Badar, dengan membunuh dan menawan mereka. Oleh karena itu, hendaknya mereka berhati-hati ditimpa lagi hal yang sama jika mereka mengulangi.
[28] Ayat ini merupakan ‘akad untuk saling melindungi, memberikan pertolongan dan saling mencintai yang Allah jalin anara kaum muhajirin dengan Anshar.
[29] Mereka adalah Muhajirin.
[30] Mereka adalah kaum Anshar.
[31] Yang dimaksud saling melindungi adalah bahwa di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang amat teguh, untuk membentuk masyarakat yang baik. Oleh karena keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka, sehingga pada pemulaan Islam mereka saling mewarisi seakan-akan mereka saudara kandung.
[32] Ada yang menafsirkan, bahwa tidak ada wais-mewarisi antara kamu dengan mereka dan bahwa mereka (yang tidak ikut berhijrah) tidak memperoleh bagian dari ghanimah sampai mereka berhijrah, namun waris-mewarisi karena persaudaraan kemudian dimansukh dengan akhir ayat surat Al Anfal ini.
[33] Untuk memerangi orang-orang yang memerangi mereka karena agama, adapun selain itu, maka tidak ada kewajiban atas kamu menolong mereka karena mereka tidak mau berhijrah.
[34] Yakni kecuali jika mereka meminta pertolongan untuk melawan kaum kafir yang terikat perjanjian antara kamu dengan mereka, maka jangan menolong mereka dan membatalkan perjanjian.
[35] Oleh karena itu, Dia mensyari’atkan kepadamu hukum yang layak bagimu.
[36] Ada yang menafsirkan, “saling melindungi” di sini dengan saling tolong-menolong dan mewarisi, oleh karena itu tidak ada waris-mewarisi antara kamu dengan mereka (orang-orang kafir).
[37] Yang dimaksud dengan apa yang telah diperintahkan Allah itu adalah keharusan adanya persaudaraan yang teguh antara kaum muslimin, berwala’ (mencintai) dengan mereka, saling tolong-menolong, dan berbara’ (berlepas diri) terhadap orang-orang kafir.
[38] Dengan menguatnya kekafiran dan kemaksiatan serta melemahnya Islam dan ketaatan.
[39] Ayat 72 menerangkan akad saling tolong menolong dan bersaudara antara kaum muhajirin dan anshar, maka pada ayat ini menyebutkan pujian untuk mereka.
[40] Karena mereka membenarkan iman mereka dengan melakukan hijrah, tolong-menolong antara yang satu dengan yang lain, dan berjihad melawan musuh-musuh mereka yang terdiri dari kaum kafir dan orang-orang munafik.
[41] Yang menghapuskan kesalahan mereka.
[42] Di surga, dan terkadang mereka memperoleh pahala yang disegerakan yang menyejukkan pandangan mereka dan menenteramkan hati mereka.
[43] Setelah kaum muhajrin dan anshar, yang mengikuti mereka dengan kebaikan; beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka pun sama akan memperoleh apa yang diperoleh generasi sebelum mereka, dan mereka memiliki kewajiban yang sama dengan generasi sebelum mereka.
[44] Wahai kaum muhajirin dan anshar.
[45] Maksudnya yang menjadi dasar waris-mewarisi dalam Islam adalah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada permulaan Islam. Thayalisi meriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan para sahabatnya dan sebagian mereka saling mewarisi, sampai turun ayat, “Wa ulul arhaami ba’dhuhum awlaa biba’dhin fii kitaabillah” (Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat), maka mereka meninggalkan hal itu (waris-mewarisi karena persaudaraan) dan saling mewarisi karena nasab. (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Thabrani. Haitsami dalam Majma’uz Zawaa’id juz 7 hal. 28 berkata, “Para perawinya adalah para perawi kitab shahih.”)
[46] Oleh karena itu, tidak ada yang menjadi ahli waris bagi seseorang selain kerabatnya, yang terdiri dari As-habul Furudh dan ‘Ashabah. Jika mereka tidak ada, maka yang mewarisinya adalah kerabat terdekat mereka dari kalangan Dzawul Arham sebagaimana ditunjukkan oleh ayat ini. Kata-kata “Menurut kitab Allah” adalah menurut hukum dan syari’at-Nya. Selesai tafsir surat Al Anfaal dengan pertolongan Allah, wal hamdulillah.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat Al Anfaal, Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Kandungan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.
0 komentar
Posting Komentar