Tafsir Al Qur'an Surat At Taubah Ayat yang ke: 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, dan 24.
Beberapa Ayat dibawah ini menerangkan tentang melanggar sumpah janjinya yang berencana mrngusir Rasul, perintah Allah untuk berjihad dan memeranginya, kecintaan Allah kepada orang-orang mukmin. Sia-sianya amal orang kafir (karena syarat diterimanya amal adalah iman). Lalu menerangkan tentang memakmurkan masjid secara dhahir ataupun batin (dhahir berkaitan dengan fisik seperti bersih dan nyaman sedangkan batin berkaitan dengan dzikrullah seperti azan, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah, pengajian, membaca Al Qur’an, berdzikr, dsb). Mulyanya derajat orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dijalan-Nya, balasan/pahala besar bagi mereka.
Baca juga: Tafsir At Taubah Ayat 1-12
Ayat 13-16: Perintah memerangi orang-orang kafir, dan bahwa yang demikian merupakan pertolongan bagi kaum mukmin serta penawar sakit hati mereka, sekaligus ujian dari Allah kepada kaum mukmin agar diketahui siapa yang jujur imannya dan siapa yang dusta
13.[1] Mengapa kamu tidak memerangi orang-orang yang melanggar sumpah (janjinya), dan telah merencanakan untuk mengusir Rasul[2], dan merekalah yang pertama kali memerangi kamu[3]? Apakah kamu takut kepada mereka, padahal Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti, jika kamu orang-orang beriman.
14.[4] Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka[5] dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghinakan mereka[6] dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman[7].
15. Dan Dia menghilangkan kemarahan hati mereka (orang mukmin). Dan Allah menerima tobat orang yang Dia kehendaki[8]. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana[9].
16.[10] Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman[11]. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Ayat 17-19: Orang-orang yang layak memakmurkan masjid adalah kaum mukmin yang memuliakan hurumatullah (apa yang dipelihara Allah kemuliaannya), adapun orang-orang kafir, maka mereka tidak memperoleh keutamaan dari amal tersebut karena apa yang mereka kerjakan adalah sia-sia
17. Tidaklah pantas orang-orang musyrik memakmurkan masjid Allah[12], padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Mereka itu sia-sia amalnya, dan mereka kekal di dalam neraka.
18. Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah[13] hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) kecuali kepada Allah[14]. Maka mudah-mudahan[15] mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.
19.[16] Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang zalim.
Ayat 20-22: Balasan bagi kaum mukmin yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah Subhaanahu wa Ta’aala
20.[17] Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan[18].
21. Tuhan menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat[19], keridhaan[20], dan surga. Mereka memperoleh kesenangan yang kekal di dalamnya[21].
22. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya[22]. Sungguh, di sisi Allah pahala yang besar[23].
Ayat 23-24: Memutuskan hubungan antara kaum mukmin dengan orang-orang kafir
23.[24] Wahai orang-orang beriman![25] Janganlah kamu jadikan bapak-bapakmu dan saudara-saudaramu sebagai wali[26], jika mereka lebih menyukai kekafiran daripada keimanan. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim[27].
24. Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya[28], maka tunggulah[29] sampai Allah memberikan keputusan-Nya[30].” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik[31].
[1] Allah Subhaanahu wa Ta’aala mendorong kaum mukmin memerangi mereka dengan menerangkan sifat yang ada pada musuh yang menghendaki untuk diperangi.
[2] Dari Mekah, saat mereka bermusyawarah di Darun Nadwah.
[3] Mereka (kaum Quraisy) membantu Bani Bakar memerangi suku Khuza’ah yang menjadi sekutumu, oleh karena itu apa yang menghalangimu untuk memerangi mereka.
[4] Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan kembali memerangi mereka dan menerangkan faedahnya.
[5] Membunuh mereka.
[6] Dengan menawan mereka.
[7] Ayat ini menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin dan perhatian-Nya terhadap mereka, di mana Dia menjadikan termasuk maqaashid syar’iyyah (tujuan syari’at) adalah mengobati sakit hati kaum mukmin yang selama ini tertekan oleh ulah mereka.
[8] Dengan menjadikan sebagian mereka yang memerangi masuk Islam, seperti Abu Sufyan.
[9] Dia meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, Dia mengetahui siapa yang layak memperoleh keimanan sehingga ditunjuk-Nya, dan siapa yang tidak layak memperolehnya sehingga dibiarkan-Nya tersesat.
[10] Setelah memerintahkan jihad, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin, bahwa apakah mereka mengira akan dibiarkan begitu saja tanpa diuji dan dicoba serta tidak diperintahkan dengan sesuatu yang dapat membedakan siapa di antara mereka yang benar dan siapa yang berdusta.
[11] Seperti halnya mereka yang mengambil orang-orang kafir sebagai teman setianya. Oleh karena itu, Allah mensyari’atkan jihad agar tercapai tujuan ini, yakni untuk memisahkan siapa yang benar atau jujur dan siapa yang berdusta, siapa yang cenderung kepada agama Allah dan siapa yang tidak, siapa yang menjadikan walinya adalah Allah, Rasul-Nya dan kaum mukmin, dan siapa yang tidak demikian.
[12] Dengan masuk dan duduk di dalamnya atau dengan melakukan berbagai ibadah padahal mereka mengakui bahwa diri mereka adalah kafir; tidak beriman. Sedangkan syarat diterimanya amal adalah beriman.
[13] Memakmurkan masjid terbagi dua; dhahir dan batin. Zhahir berkaitan dengan fisik (seperti bersih dan nyaman), sedangkan batin berkaitan dengan dzikrullah dan syi’ar-syi’ar Islam (seperti azan, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah, membaca Al Qur’an, berdzikr, beribadah, dsb.) dan kegiatan keagamaan (seperti pengajian dan pendalaman agama).
[14] Allah menyifati mereka dengan iman yang bermanfaat, mengerjakan amal saleh yang induknya adalah shalat dan zakat, dan memiliki rasa takut kepada Allah yang merupakan pangkal semua kebaikan. Karena rasa takut kepada Allah, mereka menjauhi yang dilarang-Nya dan memperhatikan hak-hak-Nya yang wajib. Mereka inilah yang pantas memakmurkannya. Adapun orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tidak memiliki rasa takut kepada Allah, maka mereka tidaklah pantas memakmurkan masjid-Nya meskipun mereka mengaku yang berhak memakmurkannya.
[15] Kata “mudah-mudahan” jika dari Allah berarti mesti.
[16] Ketika sebagian kaum muslimin berselisih, atau sebagian kaum muslimin dan sebagian kaum musyrik berselisih tentang mana yang lebih utama antara memakmurkan Masjidilharam (dengan membangunnya, shalat dan beribadah di sana serta memberi minum jama’ah haji) dengan beriman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan bahwa beriman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya adalah lebih utama dengan beberapa derajat dari memberi minum jamaah haji dan memakmurkan Masjidilharam. Yang demikian adalah karena iman merupakan pondasi agama, dan dengannya amal akan tegak dan diterima. Adapun jihad di jalan Allah, maka ia adalah puncak agama, di mana dengannya agama Islam terjaga dan semakin meluas, kebenaran terbela dan kebatilan terkalahkan. Sedangkan memakmurkan Masjidilharam dan memberi minum jamaah haji meskipun sebagai amal salih, namun ia tergantung dengan adanya iman, dan di sana juga tidak terdapat maslahat yang sama seperti dalam masalah iman dan jihad.
Imam Muslim meriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Aku pernah berada di dekat mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ada seseorang yang berkata, “Aku tidak peduli lagi jika setelah Islam amalku hanya memberi minum orang yang naik haji.” Yang lain berkata, “Aku tidak peduli lagi jika setelah Islam amalku hanya mengurus Masjidilharam.”. Sedangkan yang lain lagi berkata, “Berjihad di jalan Allah lebih utama dari apa yang kamu katakan”, maka Umar membentak mereka dan berkata, “Janganlah kamu tinggikan suaramu di dekat mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” sedangkan saat itu adalah hari Jum’at. Akan tetapi, apabila aku telah shalat Jum’at, aku akan masuk (menemui Beliau) dan bertanya kepada Beliau tentang masalah yang kamu perselisihkan, maka Allah menurunkan ayat, “Aja’altum siqaayatal hajji wa ‘imaaratal masjidil haram kaman aamana billahi wal yaumil aakhir…dst.”
[17] Dalam ayat ini, Alah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan secara tegas tingginya keduduikan orang-orang yang beriman dan berjihad di jalan-Nya.
[18] Yakni memperoleh apa yang dicari dan selamat dari sesuatu yang dikhawatirkan.
[19] Dia akan menghindarkan dari mereka semua keburukan dan akan menyampaikan kepada mereka semua kebaikan.
[20] Yang merupakan nikmat surga yang paling besar dan paling agung, Dia akan ridha kepada mereka dan tidak akan pernah murka selama-lamanya.
[21] Mereka memperoleh apa yang disenangi oleh jiwa mereka dan hal yang menyejukkan pandangan mereka, di mana tidak ada yang mengetahui sifat dan ukurannya selain Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Di antaranya juga adalah Allah telah menyiapkan untuk orang-orang yang berjihad di jalan-Nya 100 derajat, di mana antara masing-masing derajat jaraknya sebagaimana antara langit dan bumi,
[22] Dan tidak ingin pindah daripadanya.
[23] Oleh karena itu, janganlah kamu heran terhadap balasan yang demikian besar itu, karena sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.
[24] Ada yang berpendapat, bahwa ayat ini turun berkenaan orang-orang tidak berhijrah karena mengutamakan keluarga dan harta perdagangan.
[25] Yakni kerjakanlah konsekwensi dari keimanan, yaitu dengan memberikan wala’ kepada orang yang mengerjakan keimanan itu dan memberikan baraa’ (sikap lepas diri) terhadap mereka yang tidak mengerjakannya.
[26] Meskipun mereka orang yang dekat denganmu.
[27] Karena mereka berani bermaksiat kepada Allah dan menjadikan musuh-musuh-Nya sebagai wali atau orang yang dicintai dan dibela, padahal yang demikian akan membuatnya menaati mereka meninggalkan ketaatan kepada Allah dan membuatnya lebih mencintai mereka daripada cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Pada ayat selanjutnya dipertegas lagi, bahwa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya harus didahulukan di atas cinta kepada segala sesuatu serta menjadikan semuanya mengikuti cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
[28] Sehingga kamu tidak berhijrah dan berjihad karena sebab itu.
[29] Yakni tunggulah hukuman yang akan menimpamu.
[30] Yang tidak dapat ditolak lagi.
[31] Yaitu mereka yang keluar dari ketaatan kepada Allah lagi mengutamakan semua yang disebutkan daripada kecintaan kepada Allah, Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya. Contoh mengutamakan selain Allah dan Rasul-Nya adalah ketika dihadapkan kepadanya dua perkara; perkara yang pertama dicintai Alah dan Rasul-Nya sedangkan hawa nafsunya tidak ingin kepadanya, adapun yang kedua diiinginkan oleh hawa nafsunya, maka jika ia mengutamakan yang kedua, maka berarti ia mengutamakan selain Allah dan Rasul-Nya.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat Al Anfaal, Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Kandungan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.
0 komentar
Posting Komentar