Tafsir Al Quran Surat At Taubah Ayat yang ke: 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, dan 35.
Ayat dibawah ini menerangkan tentang pertolongan Allah dalam peperangan, cerita tentang peristiwa perang Hunain, larangan memasuki Masjidilharam bagi orang-orang musyrik, perintah untuk memerangi kaum kafir Yahudi dan Nasrani yang melakukan permusuhan, rusaknya akidah 2 kaum tersebut karena menisbatkan putera kepada Allah SWT dan bertaqlid bahwa para malaikat adalah puteri Allah, azab yang akan ditimpakan kepada para 'alim dan pemimpin yang mendapatkan harta secara batil, perintah untuk menafkahkan harta dan mengeluarkan zakat, dll.
Baca juga: Tafsir At Taubah Ayat 25-35
Ayat 25-27: Senjata dan perlengkapan tidaklah dipandang dalam peperangan, tetapi keimanan yang benar, ikhlas kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan cinta para sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah yang dipandang
25. Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang[1], dan (ingatlah) perang Hunain[2], ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang.
26. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan bala tentara (para malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menimpakan azab kepada orang-orang kafir[3]. Itulah balasan bagi orang-orang kafir[4].
27. Setelah itu Allah menerima tobat orang yang Dia kehendaki[5]. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[6].
Ayat 28-29: Larangan bagi kaum musyrik memasuki Masjidil Haram dan wajibnya memerangi orang-orang kafir yang melakukan permusuhan
28. Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis[7], karena itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam[8] setelah tahun ini[9]. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin[10] (karena orang kafir tidak datang), maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya[11], jika Dia menghendaki[12]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana[13].
29.[14] Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya[15] dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Islam)[16], (Yaitu orang-orang) yang telah diberikan kitab[17], hingga mereka membayar jizyah (pajak)[18] dengan patuh[19] sedang mereka dalam keadaan tunduk[20].
Ayat 30-31: Rusaknya ‘aqidah Ahli Kitab karena menisbatkan anak kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, dan bahwa Dia bersih dari sekutu dan serupa dengan makhluk-Nya
30.[21] Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putera Allah.”[22] Dan orang-orang Nasrani berkata, “Al Masih putera Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka[23]. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu[24]. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling[25]?
31. Mereka menjadikan orang-orang alim, dan rahib-rahibnya (ahli ibadahnya) sebagai tuhan selain Allah[26], dan (juga) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh[27] menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.
Ayat 32-33: Sikap orang-orang kafir terhadap agama Allah dan usaha batil mereka untuk memadamkan cahaya Allah, serta janji Allah untuk menolong agama-Nya
32.[28] Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya[29], malah berhendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.
33.[30] Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Quran)[31] dan agama yang benar[32] untuk diunggulkan atas segala agama[33], walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.
Ayat 34-35: Peringatan terhadap ulama jahat dan para pemimpin kesesatan di setiap waktu dan tempat, dan pentingnya mengeluarkan zakat mal
34. Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil[34], dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah[35]. Dan[36] orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah[37], maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih,
35.[38] (ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahannam, lalu dengan itu diseterika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu[39].”
[1] Seperti pada perang Badar, Bani Quraizhah dan Bani Nadhir.
[2] Hunain adalah nama sebuah lembah yang berada di antara Mekah dan Tha’if. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan Mekah, Beliau mendengar bahwa kabilah Hawazin sedang berkumpul untuk memerangi Beliau, maka Beliau berangkat bersama para sahabat yang ikut menaklukkan Mekah serta bersama beberapa orang yang baru masuk Islam, sehingga jumlah mereka 12.000 orang (10.000 dari kaum muslimin yang berangkat dari Madinah untuk Fat-hu Makkah dan 2000 orang penduduk Makkah yang masih baru masuk Islam), sedangkan musuh berjumlah 4.000 orang. Lalu sebagian kaum muslimin merasa bangga dengan jumlah mereka sampai-sampai mereka berkata, “Pada hari ini kita tidak akan dikalahkan karena jumlah yang sedikit”. Pada hari Sabtu 6 Syawwal tahun 8 Hijriah, Beliau bersama pasukannya berangkat menuju ke tempat musuh. Orang-orang Hawazin dan Tsaqif telah memilih tempat yang strategis, yaitu tanah pegunungan yang berbukit-bukit dan berliku-liku. Mereka bersembunyi di balik bukit-bukit menunggu tentara kaum muslimin lewat di jalan sempit bawahnya. Ketika kaum muslimin tiba di tempat tersebut yang bernama lembah Hunain, datanglah serbuan yang mendadak dari musuh. Tentara kaum muslimin menjadi panik dan lari bercerai berai. Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap berada di atas bagalnya yang putih, dan tidak ada yang bersamanya selain urang lebih 100 orang yang tetap di tempatnya melawan kaum musyrik. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengarahkan bagalnya kepada kaum musyrik sambil berkata, “Saya Nabi tidak berdusta! Saya putera Abdul Muththalib.” Namun Abu Sufyan dan Abbas menahan bagal Beliau agar tidak segera maju. Kemudian Beliau berusaha menghimpun kembali pasukan kaum muslimin yang kacau balau itu. Beliau memerintahkan Abbas bin Abdul Muththalib seorang yang keras suaranya untuk menyeru kaum muslim. Beliau bersabda, “Wahai Abbas! Panggil orang-orang yang berbai’at di bawah pohon (Bai’atur ridhwan),” Lalu Abbas berkata dengan suara keras, “Di mana orang-orang yang berbai’at di bawah pohon (Bai’atur ridhwan)?”, maka ketika kaum muslimin mendengar suaranya, mereka pun berbalik seperti berbaliknya sapi mendatangi anak-anaknya, serangan pembalasan kemudian dilancarkan sampai musuh dapat dikalahkan. Sisa pasukan musuh yang kalah, melarikan diri ke Tha’if. Dalam benteng Tha’if inilah musuh mempertahankan diri. Beberapa waktu lamanya musuh mempertahankan diri, namun tidak berhasil juga ditundukkan. Akhirnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke Ja’ranah, tempat tawanan dan rampasan-rampasan, meninggalkan benteng itu, tetapi sudah memblokir daerah sekitarnya. Di Ja’ranah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh delegasi (utusan) Hawazin. Mereka menyatakan tobat kepada Allah dan masuk Islam. Hawazin meminta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam agar harta benda dan kaum keluarga mereka yang ditawan dibebaskan dan dikembalikan kepada mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin tidak keberatan memenuhi permintaan mereka; semua tawanan dan rampasan dari mereka pun dikembalikan seluruhnya. Sedangkan penduduk Tha’if, karena tidak tahan menderita akibat pemblokiran kaum muslimin akhirnya mereka mengirimkan delegasi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan keinginan mereka memeluk Islam. Dengan demikian berakhirlah peperangan dengan kabilah Tsaqif itu.
[3] Dengan mengalahkan dan menjadikan mereka terbunuh, dan menjadikan kaum muslimin menguasai istri, anak dan harta mereka.
[4] Di dunia Allah mengazab mereka seperti yang sudah diterangkan, sedangkan di akhirat mereka dikembalikan kepada azab yang pedih. Na’uudzu billahi min dzaalik tsumma na’uudzu billah.
[5] Dengan menjadikan mereka masuk Islam dan mengembalikan kepada mereka harta rampasan yang sebelumnya diambil.
[6] Allah memiliki ampunan yang luas dan rahmat yang merata, Dia memaafkan dosa-dosa besar bagi orang-orang yang bertobat dan merahmati mereka dengan memberinya taufiq untuk bertobat dan taat, memaafkan tindakan buruk mereka dan menerima tobat mereka. Oleh karena itu, janganlah ada seorang yang berputus asa dari ampunan dan rahmat-Nya meskipun ia telah melakukan dosa yang demikian besar dan banyak.
[7] Dalam aqidah dan amalnya. Aqidah mereka syirk, sedangkan amal mereka adalah menentang Allah, menghalangi manusia dari jalan Allah, membela yang batil, menolak yang hak, mengadakan kerusakan di bumi dan tidak memperbaikinya. Oleh karena itu, hendaknya kamu bersihkan rumah yang paling mulia di muka bumi dari mereka itu (orang-orang musyrik).
Perlu diketahui, bahwa najis di sini bukan berarti bahwa badan mereka bernajis, karena orang kafir sebagaimana yang lainnya suci badannya, alasannya karena Allah Ta’ala membolehkan menggauli wanita Ahli Kitab dan tidak memerintahkan untuk membasuh bagian yang terkena olehnya, demikian juga karena kaum muslimin senantiasa bersentuhan badan dengan orang-orang kafir, dan tidak ada nukilan bahwa mereka menganggapnya jijik sebagaimana mereka menganggap jijik barang najis. Oleh karena itu, najis di sini adalah najis maknawi karena perbuatan syirk, sebagaimana tauhid dan iman merupakan kesucian, sedangkan syirk adalah najis.
[8] Maksudnya tidak dibenarkan mengerjakan haji dan umrah. Menurut pendapat yang lain, bahwa kaum musyrikin itu tidak boleh masuk ke tanah Haram baik untuk keperluan haji dan umrah atau untuk keperluan yang lain.
[9] Maksudnya setelah tahun 9 Hijrah, ketika Abu Bakar memimpin jamaah haji kaum muslimin, dan ketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membacakan ayat “bara’ah” pada hari haji akbar, ia juga diperintahkan menyerukan bahwa, “Orang musyrik tidak boleh berhaji setelah tahun ini, dan tidak boleh bertawaf dengan telanjang.”
[10] Karena mencegah orang musyrikin mengerjakan haji dan umrah atau mendekati Masjidilharam, sehingga pencaharian orang-orang Muslim boleh jadi berkurang, dan kaum musyrikin tidak berbelanja lagi kepada kaum muslimin.
[11] Karena sesungguhnya rezeki-Nya tidak terbatas hanya melalui satu pintu, bahkan tidaklah satu pintu ditutup kecuali akan dibukakan pintu-pintu lainnya yang banyak, karena karunia Allah begitu luas terlebih bagi mereka yang meninggalkan sesuatu karena Allah, dan lagi Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah mengayakan mereka dengan berbagai fath (penaklukkan) dan jizyah (pajak). Dan Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah memenuhi janji-Nya, Dia telah mengayakan kaum muslimin dengan karunia-Nya dan membuka lebar-lebar rezeki kepada mereka, sehingga mereka menjadi orang-orang yang kaya.
[12] Kata-kata “Jika Dia menghendaki” menunjukkan pengkaitan kaya jika dikehendaki-Nya. Hal itu, karena kaya di dunia bukan termasuk lawazim (hal yang menempel) dengan keimanan, dan tidak menunjukkan kecintaan Allah. Oleh karena itu, Dia mengaitkannya dengan kata-kata “Jika Dia menghendaki”, karena sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada orang yang Dia cintai dan orang yang tidak Dia cintai, dan tidak memberikan iman dan agama selain kepada orang yang Dia cintai.
[13] Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, Dia mengetahui orang yang layak menjadi kaya dan yang tidak layak, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya.
[14] Ayat ini memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nasrani.
[15] Mereka tidak mengikuti syari’at-Nya dalam mengharamkan perkara-perkara haram, seperti menghalalkan khamr atau minuman keras.
[16] Karena agama mereka sudah dirubah atau sudah dimansukh dengan syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan berpegang dengan yang sudah dimansukh tidak boleh.
[17] Yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.
[18] Jizyah ialah pajak per-kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam agar mereka tidak diperangi dan dapat mukim dengan aman di tengah-tengah kaum muslimin. Pajak tersebut diambil dari mereka setiap tahun sesuai keadaannya; kaya, miskin, atau pertengahan sebagaimana yang dilakukan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab dan lainnya dari kalangan umara (pemerintah) kaum muslimin.
[19] Kata-kata ‘an yadin” bisa berarti patuh, dan bisa berarti bahwa mereka menyerahkannya dengan tangan mereka tanpa mewakilkan kepada yang lain atau menyerahkannya dalam keadaan hina.
[20] Yakni dalam keadaan hina dan tunduk kepada hukum Islam. Jika keadaan mereka seperti ini, mereka meminta kaum muslimin mengakui mereka dengan membayar jizyah, sedangkan mereka berada di bawah hukum dan keuasaan kaum muslimin, mereka juga tunduk kepada syarat-syarat yang diberlakukan kaum muslimin untuk menghilangkan ‘izzah mereka dan kesombongan mereka, maka wajib bagi imam atau wakilnya melakukan akad jizyah dengan mereka. Jumhur ulama berdalih dengan ayat ini, bahwa jizyah tidaklah diambil kecuali dari Ahli Kitab, karena Allah tidak menyebutkan pemungutan jizyah selain dari mereka. Adapun selain mereka, maka tidak disebutkan selain memerangi mereka sampai masuk Islam. Namun dihubungkan dengan Ahli Kitab dan dibiarkan tinggal di tengah kaum muslimin adalah orang-orang Majusi, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil jizyah dari Majusi Hajar, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu memungut pula dari orang-orang Persia yang beragama Majusi. Di antara ulama ada pula yang berpendapat, bahwa jizyah dipungut pula dari semua orang kafir, baik Ahli Kitab maupun selain mereka, karena ayat ini turun setelah selesai memerangi orang-orang Arab yang musyrik dan mulai memerangi Ahli Kitab dan yang semisal mereka sehingga batasan hanya kepada Ahli Kitab hanya bersifat pengabaran dengan kenyataan, dan tidak diambil mafhumnya. Hal ini ditunjukkan pula oleh pemungutan jizyah dari orang-orang Majusi padahal mereka bukan Ahli Kitab, demikian juga karena telah mutawatir dari kaum muslimin yang mereka terima dari para sahabat dan setelah mereka, bahwa mereka mengajak orang-orang yang mereka perangi kepada tiga hal; masuk Islam, membayar jizyah atau perang tanpa membedakan apakah mereka Ahli Kitab atau bukan.
[21] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan memerangi Ahli Kitab, Allah menyebutkan di antara perkataan mereka yang kotor yang mendorong kaum mukmin yang memiliki kecemburuan kepada Allah dan kepada agama mereka untuk memerangi mereka dan mengerahkan tenaga semampunya dala memerangi mereka.
[22] Ucapan ini meskipun tidak diucapkan oleh semua orang-orang Yahudi, namun diucapkan oleh sebagian mereka yang menunjukkan bahwa di dalam orang-orang Yahudi terdapat kekotoran dan keburukan yang membuat mereka berani berkata seperti ini dan mencacatkan keagungan Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Ada yang berpendapat, bahwa sesbab mereka mengatakan Uzair putera Allah adalah karena ketika Allah memberikan kekuasaan kepada raja-raja untuk menguasa Bani Israil dan menghancurkan mereka sehancur-hancurnya, serta mereka bunuh para pemikul Taurat, lalu mereka menemukan ‘Uzair yang hapal kitab itu atau sebagian besarnya, lalu ia mengimla (mendikte)kan melalui hapalannya, dan orang-orang menyalinnya, maka mereka pun mengatakan kata-kata keji itu, Mahasuci Allah dari perkataan yang keji itu.
[23] Tanpa berdasar sama sekali.
[24] Yakni bertaqlid dengan mereka atau bertaqlid dengan orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa para malaikat adalah puteri Allah, hati mereka sama sehingga ucapannya pun tidak jauh beda.
[25] Yakni bagaimana mereka bisa dipalingkan dari kebenaran padahal keterangan dan buktinya jelas. Sungguh aneh, mengapa umat yang besar bisa sepakat terhadap suatu perkataan yang jelas batilnya berdasarkan akal pikiran jika mereka mau berpikir. Sudah barang tentu, ada sebab yang membuat mereka berkata seperti itu, yaitu karena mereka menjadikan ulama mereka dan ahli ibadah mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana diterangkan dalam ayat selanjutnya.
[26] Maksudnya mereka mematuhi ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, meskipun orang-orang alim dan rahib itu menyuruh berbuat maksiat atau mengharamkan yang halal atau mensyari’atkan sesuatu yang tidak disyari’atkan atau mengatakan kata-kata yang menyalai agama para rasul. Mereka juga berbuat ghuluw (berlebihan) terhadap para tokoh mereka dan memuliakan mereka secara berlebihan, serta menjadikan kuburan mereka sebagai sembahan-sembahan selain Allah, di mana kepadanya sembelihan, doa dan permohonan ditujukan. Inilah sebabnya mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya menjadikan kuburnya sebagai masjid.
[27] Dalam Taurat dan Injil, serta melalui lisan rasul-rasul.
[28] Setelah jelas, bahwa mereka tidak memiliki hujjah terhadap apa yang mereka katakan dan tidak memiliki keterangan yang mereka jadikan sebaai pijakan, bahkan perkataan itu hanya semata-mata mengada-ada dan membuat kedustaan, maka dalam ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan, bahwa mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulutnya. Cahaya di sini adalah agama-Nya yang disampaikan oleh para rasul-Nya, dan yang disebutkan dalam kitab-kitab yang diturunkan-Nya, berupa syari’at dan penguatnya (bukti-buktinya). Allah menamainya sebagai cahaya, karena ia merupakan cahaya yang menerangi gelapnya kebodohan dan agama-agama yang batil. Agama tersebut mengandung pengetahuan terhadap kebenaran dan pengamalannya, adapun selainnya adalah kesesatan. Nah, orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang serupa dengan mereka yang terdiri dari kaum musyrik ingin memadamkan cahaya Allah melalui perkataan mereka yang sama sekali tidak memiliki dasar.
[29] Meskipun mereka berkumpul bersama untuk memadamkanya.
[30] Di ayat ini, Allah memperjelas kembali, bahwa cahaya itu akan disempurnakan-Nya dan akan dijaga-Nya.
[31] Bisa juga berarti ilmu.
[32] Yakni amal saleh. Oleh karena itu, isi agama yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menerangkan kebenaran, baik dalam nama Allah, sifat-Nya maupun perbuatan-Nya, hukum-hukum–Nya, berita-berita-Nya dan memerintahkan semua yang memberikan maslahat bagi hati, ruh dan badan berupa ikhlas, cinta kepada Allah dan beribadah kepada-Nya, memerintahkan akhlak mulia, amal yang saleh dan adab-adab yang baik, serta melarang semua yang bertentangan dengan itu berupa akhlak dan amal yang buruk lagi membahayakan hati, ruh dan badan di dunia dan akhirat.
[33] Dengan ilmu dan senjata meskipun orang-orang musyrik membenci dan telah membuat tipu daya yang besar untuk memusnahkannya, karena sesungguhnya makar yang buruk tidaklah menimpa selain kepada pembuatnya, dan Allah telah berjanji untuk menyempurnakan cahaya-Nya, maka pasti akan sempurna.
[34] Seperti menerima risywah (sogokan) dalam masalah hukum atau berfatwa dan memutuskan tidak sesuai dengan apa yang Allah turunkan karena diberi sogokan.
[35] Yakni dari agama-Nya.
[36] Imam Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, ia berkata, “Saya melewati Rabdzah, dan ternyata bertemu dengan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, aku pun berkata kepadanya, “Apa yang menjadikan kamu menempati tempat ini?” Ia menjawab, “Aku berada di Syam, lalu aku berselisih dengan Mu’awiyah tentang ayat, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah…” Mu’awiyah berkata, “Ayat ini turun berkenaan Ahli Kitab”, sedangkan aku berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan kita dan mereka.” Itulah masalah yang terjadi antara aku dengannya.” Ia pun menuliskan surat kepada Utsman radhiyallahu ‘anhu mengeluhkan tentang aku, maka Utsman mengirim surat kepadaku yang isinya, “Datanglah ke Madinah”, maka aku pun datang, lalu banyak orang yang mengerumuniku seakan-akan mereka belum pernah melihatku sebelumnya, kemudian aku terangkan hal itu kepada Utsman, lalu ia berkata kepadaku, “Jika engkau mau, engkau menjauh, namun engkau dekat.” Itulah yang menjadikan aku menempati tempat ini, dan jika sekiranya mereka memerintahkan aku sebagai penduduk Habasyah, maka aku akan mendengar dan taat.”
Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah, di antaranya:
– Hendaknya para umara bersikap lembut kepada ulama dan tidak bersikap gegabah, karena Mu’awiyah tidak segera mengingkarinya sampai ia surat-menyurat dengan orang yang berada di atasnya, yaitu Utsman radhiyallahu ‘anhu.
– Ancaman menyelisihi dan keluar dari ketaatan kepada penguasa.
– Dorongan untuk taat kepada Ulil Amri.
– Melakukan yang kalah utama agar tidak timbul mafsadat. Imam Ahmad dan Abu Ya’la meriwayatkan dari jalan Abu Harb bin Abil Aswad dari pamannya dari Abu Dzar, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Apa yang akan engkau lakukan apabila engkau diusir darinya (yakni dari Masjid Nabawi)?” Abu Dzar menjawab, “Aku akan pergi ke Syam.” Beliau bertanya lagi, “Apa yang engkau lakukan apabila engkau diusir darinya?” Abu Dzar menjawab, ”Aku akan kembali kepadanya (yakni ke Masjid Nabawi).” Beliau bertanya lagi, “Apa yang akan engkau lakukan apabila engkau diusir darinya (dari Masjid Nabawi)?” Abu Dzar menjawab, “Aku akan menggunakan pedangku (untuk melawannya).” Beliau bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkan hal yang lebih baik bagimu dan lebih dekat kepada petunjuk? Yaitu kamu mendengar dan taat serta mengikuti ke mana mereka mengarahkan kamu.”
– Bolehnya berbeda pendapat dalam masalah ijtihad.
– Bersikap tegas dalam beramar ma’ruf meskipun sampai mengakibatkan keluar dari tempat tinggalnya.
– Mendahulukan menolak mafsadat daripada mengambil maslahat, hal itu karena jika Abu Dzar tetap di tempatnya tentu ada maslahat besar, yaitu menyebarkan ilmunya ke tengah-tengah penuntut ilmu, namun menurut Utsman mafsadat yang ditimbulkan dari madzhabnya yang agak keras lebih baik didahulukan untuk ditolak, dan Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak memerintahkannya kembali karena masing-masing mereka berijtihad.
[37] Maksudnya tidak mengeluarkan zakatnya atau nafkah yang wajib seperti kepada keluarga atau nafkah di jalan Allah ketika menjadi wajib karena dibutuhkan sekali.
[38] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
[39] Dalam kedua ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan penyimpangan manusia dalam hartanya, yaitu dengan mengeluarkannya untuk yang batil, seperti untuk maksiat atau mengeluarkannya untuk menghalangi manusia dari jalan Allah, atau dengan menahan hartanya dengan tidak mengeluarkannya pada yang wajib, seperti zakat dan nafkah yang wajib.
Tags: Tafsir Lengkap Al Quran Online Indonesia, Surat Al Anfaal, Terjemahan Dan Arti Ayat Al Quran Digital, Penjelasan dan Keterangan, Kandungan, Asbabun Nuzul, Download Tafsir Al Quran, Footnote atau catatan kaki.
0 komentar
Posting Komentar